BELAJAR DARI SEJARAH KETABAHAN: PENGALAMAN

GEREJA-GEREJA DI TIMUR TENGAH

"Man qatala mu'ahidan yarih raihata al-jannah". Barangsiapa membunuh kaum Dzimmi (minoritas non-Islam yang dilindungi pemerintah Islam), maka dia tidak mencium wanginya surga.

(Nabi Muhammad)(1)

Beberapa tahun lalu, Gul Masih, seorang Kristian dari Pakistan, dituduh menghina Nabi Muhammad oleh rekan Muslimnya, Sajjad Husein. Tidak ada saksi lain yang menyokong tuduhan Sajjad Husein. Tetapi akhirnya hakim berkata: "Sajjad Husein sudah berumur 21 tahum, berjenggot, berpenampilan sebagai Muslim sejati. Oleh karena itu tidak ada alasan bagi saya untuk tidak mempercayainya." Akhirnya, Gul Masih dihukum mati berdasarkan tuduhan seorang saja tanpa saksi-saksi.

Di Pakistan, kasus semacam itu mudah sekali terjadi. Sebab menurut ketentuan Qanun-I Shahadat (Hukum Pembuktian) pakistan tahun 1984: "Kesaksian seorang Kristian tidak diterima untuk menghukum orang Muslim, dan pembunuhan atas seorang dzimmiy (kaum non-Muslim yang dilindungi pemerintah Islam) tidak boleh dibalas setimpal dengan hukuman mati, sebagaimana kasus yang sama yang terjadi atas diri seorang Muslim." (2)

Ketentuan semacam ini termasuk hukuman mati bagi seorang Muslim yang pindah agama Kristian (ketentuan yang sama tidak berlaku sebaliknya - seorang Kristian yang pindah ke agama Islam). Hal tersebut masih dijalankan di beberapa negara Islam. Apakah konsep ini cocok dengan sikap Nabi Muhammad sendiri terhadap ahl ad-dimmiy? Bila tidak, bagaimana pula perkembangan konsep itu dari waktu ke waktu hingga sekarang? Apa pula pengaruhnya bagi hubungan Kristian-Islam di negara-negara Islam?

Dalam suatu acara doa bersama di rumah Gus Dur (KH. Abdurrahman Wahid), tatkala saya mewakili komunitas Studi Kristian Syria dan membawakan doa-doa dalam bahasa Arab, Prof. Dr. Nurcholish Madjid (Cak Nur) berkata: "Islam itu semakin jauh dari pusatnya (Timur Tengah) semakin fanatik."

Cak Nur mencontohkan kasus umat Islam di Pakistan, Malaysia dan Indonesia. Misalnya, di beberapa tempat mengucapkan Selamat Natal saja menjadi masalah. Padahal, hubungan kekerabatan Kristian-Islam di negara-negara Arab: Mesir, Palestina, Syria dan Libanon/Lubnan tidak mempermasalahkan hal-hal seperti itu.

MEMUPUK SEMANGAT TOLERANSI: DARI SALING MENGUCAPKAN
SALAM HINGGA KEBEBASAN BERAGAMA

Apa yang diucapkan Cak Nur kepada saya memang benar dan saya sudah sering menyaksikan sendiri. Setiap akhir tahun Presiden Palestina Yasser Arafat selalu berpidato dalam bahasa Arab di Kanisah al-Mahd (Gereja Kelahiran Yesus) di Betlehem dan ia mengucapkan Selamat Idul Milad (Natal) dan Tahun Baru. "Kullu 'aam wa antum bikhayr, - Setiap tahun kiranya antum (Anda) selalu baik," demikian akhir pesannya selalu. Keesokan harinya, koran-koran (surat khabar) berbahasa Arab memuat inti pesannya. Juga ulasan pidato dari Patriarkh Mikhail Sabah yang sangat "concern" terhadap perdamaian Palestina. (3)

Begitu pula dengan Syeikh al-Azhar di Mesir. Sebagai pemimpin tertinggi Islam yang langsung dipilih oleh rakyat, ia selalu saling berkunjung dengan Anba' al-Muazhim Shenuda III, Patriarkh Iskandariyah dan pemimpin tertinggi Gereja Ortodoks Koptik di Kairo. Biasanya Syeikh al-Azhar berkunjung pada waktu Idul Fashah (Perayaan Paskah), dan sebaliknya Anba' Shenuda III memberikan ucapan selamat pada hari-hari besar Islam, atas nama umat Kristian Koptik di Mesir.

Hubungan antara Islam dengan umat Kristian ortodoks di negara-negara Timur Tengah (khususnya gereja-gereja pribumi seperti Gereja Ortodoks Syria dan Koptik) memang telah berjalan cukup lama. Hal itu juga dilatarbelakang oleh "hutang sejarah" gereja-gereja pribumi kepada pemerintah Islam yang telah membebaskan mereka dari penindasan sesama Kristian (pihak Barat Byzantium). Penindasan terjadi pada saat orang-orang Kaisar memaksakan hegemoni kebudayaan Yunani atas kekristenan setempat. Khususnya sejak gagalnya Konsili Kalsedon tahun 451. Penindasan-penindasan yang sangat kejam dari sesama orang Kristian yang dimulai dari Kaisar Yustinius atas gereja-gereja pribumi di Mesir dan Syria itulah yang telah menjadi salah satu faktor pendorong cepatnya perkembangan Islam.

Sejarah Gereja Ortodoks Koptik di Mesir mencatat bahwa tahun-tahun sebelum datangnya pemerinthan Islam adalah saat-saat puncak penganiayaan Kristian Byzantium atas umat Kristian Mesir. Penganiayaan tersebut telah memakan banyak korban. Misalnya, seorang martyr ('syahid") bernama Menas, saudara Patriarkh Benyamin mati di tangan Cyrus, wakil Kaisar Heraklitus. Dicatat pula, tujuh tahun sebelum tentara Islam datang, jalan-jalan di perkampungan Kristian Koptik dipenuhi oleh lalu lalangnya polisi-polisi (polis) keagamaan dari Kaisar Byzantium yang kononnya "eis to onoma to Christou" (demi nama Kristus) mereka sewaktu-waktu menangkap, menyiksa dan membunuh rahib-rahib Koptik dan saudara-saudara seiman mereka sendiri yang menganut rumusan iman berbeda.

Sebaliknya, setelah kedatangan pemerintah Islam mereka diberi sejenis "kebebasan beragama" yang terbatas dan dengan keharusan membayar jizyah (pajak bagi kaum non-Islam di pemerintahan Islam). Sebagaimana umat Islam sendiri diwajibkan membayar zakat menurut peraturan agama mereka sendiri.

Selanjutnya hubungan Kristian-Islam di Timur Tengah terjalin sangat erat. Kendati tidak jarang pula dikotori oleh motif-motif ta'ayub (dorongan intoleransi) kaum minoritas fanatik yang menyebabkan beberapa gereja dan biara dibakar dalam aksi-aksi kerusuhan dan penganiayaan.

Al-Azhari, seorang sejarawan Muslim yang hidup pada abad ke-14 Masehi, dalam Tarikh al-Adyar an-Nashraniy (Riwayat Biara-Biara Kristian), mencatatkan tentang kekesalahan dan kemarahannya atas pembakaran beberapa gereja pada saat kerusuhan politik di Mesir. Namun, rasa keadilanya terpuaskan ketika gerombolan pembakar gereja itu akhirnya dihukum mati oleh Kalifah Islam Nasr Muhammad bin Qala'un tahun 1337 Masehi. (4)

Gerombolan ekstrem dengan pasukan provokatornya memang selalu ada sampai hari ini di negara-negara Timor Tengah. Saya pernah berjalan bersama seorang abuna (gelaran untuk seorang pendeta dalam bahasa Arab) dari Gereja al-Mu'alaqah (Hanging Church) di kota lama Kairo. Betapa kagetnya saya, ketika ada seorang meludah seolah dengan perasaan jijik melihat tanda salin yang dipakai rekan saya yang berjubah hitam itu. "Kelompok ekstrem itu jumlahnya sangat sedikit," jelas Abuna,ketika saya menanyakan pemandangan yang saya lihat itu.

Pengalaman yang kurang memuaskan ini sungguh kontras dengan apa yang saya saksikan di tempat lain, yaitu di sebuah toko buku Koptik di Yordania. Toko buku yang selalu saya kunjungi setiap kali saya berada di Yordan ini berada di depan gereja Koptik "Sayidatina Maryam". Letak gereja tersebut berhadapan dengan masjid besar berkubah biru, yang lebih populer disebut Masjid "Malik 'Abdullah", di kota Amman.

Saya pernah berjumpa dengan seorang Muslim yang sering berada di toko buku itu. Rupanya ia diminta tolong oleh rekan-nya yang beragama Kristian yang sedang keluar - entah ke mana. Ternyata pemuda Muslim itu sangat hapal dengan kitab-kitab Kristian yang saya tanyakan, bahkan lengkap dengan penerbitnya. "Hal 'indak Khidmatul Quddus li Basilius al-Kabir?" (Apakah Anda mempunyai buku Liturgi Basilius Agung?), tanya saya. "Fil 'Arabiya?" (Dalam bahasa Arab?), pemuda Muslim ity balik bertanya. Saya menjawabnya dengan anggukan kepala. "Na'am, indi" (Ya, saya punya)", jawab pemuda itu. Pemuda ity menyebut juga nama penerbitnya, "Dir Yuhanna al-Ha-bib lil Nasyir, Kairo". Tidak lama kemudian, pemilik toko buku yang Kristian itu datang. Pemilik buku Koptik itu menawarkan buku tebal berjudul Tarikhul Kanisah (Sejarah Gereja). Kitab yang tergolong klasik, karya Eusebius dari Kaisarea (wafat 340 Masehi) ini, diterjemahkan dalam bahasa Arab oleh seorang rabbi Koptik bernama al-Qamash Marqus Dawud dan diterbitkan oleh Maktabah al-Muhabah, Kairo. Sekali lagi, pemuda Muslim yang ramah itu, masih saja nimbrung berbicara mengenai sekilas isi buku tersebut.

TOLERAN, TANPA KEHILANGAN JATI DIRI

Pengalaman Gereja Ortodoks Syria juga tidak jauh berbeda. Orang-orang Kristian Syria merasa sangat tertekan dengan kekuasaan imperium Yunani/Byzantium. Ketika umat gereja Syria yang asal-usulnya dapat dilacak dari zaman rasuli ini, menolak pemaksaan budaya Yunani, Kaisar Byzantium mengasingkan Patriarkh Mar Severeus ke Mesir, bersamaan dengan penganiayaan uskup dan para imam gereja. Takhta kepatriarkhan direbut secara paksa dan di situ ditempatkan "patriarkh-patriarkh boneka" kaisar di Syria dan Mesir (5).

Sikap muak dan benci terhadap "kolonialisme" atas nama Kristian ini adalah salah satu faktor yang membuat mereka menyambut pemerinthan Arab-Islam. Pada akhir abad ke-11 Masehi, Patriakh Syria Mar Mikhail al-Syeikh (Mikhael the Elder) sambil melihat kembali latar belakang sejarah itu, berkeyakinan bahwa Allah sendiri yang telah mengirimkan "anak-anak Ismail dari Arab selatan untuk membebaskan orang-orang Kristian Syria dari tangan orang-orang Byzantium."(6)

Sebaliknya, pihak Kristian barat masih menyebut gereja-gereja Arab dengan sebutan fitnah sebagai nazhab "Monophisit" a la bid'ah Euthyces, atau kaum Ya'qubiyah (Jacobite), "pengikut Ya1qub Bar Addai". Tuduhan terakhir ini bertujuan untuk menghapus klaim rasuliyah Gereja Syria sebagai gereja yang sudah berdiri sejak zaman permulaan keKristianan (Kis. 11:26),seolah-olah baru didirikan oleh Ya'kub Bar Addai, meskipun ia adalah tokoh Gereja Syria yang terkemuka.(7)

Sejak berada di bawah pemerintahan Arab-Islam, gereja-gereja Arab memasuki pergumulan baru. Pergumulan itu adalah bagaimana mereka harus hidup berdampingan dengan agama Semitik baru yang secara kultural dan politis berdekatan, tetapi secara akidah berbeda? Bagaimana mereka harus hidup berdampingan secara damai tanpa melarutkan kehilangan jati dirinya?

Ada satu catatan sejarah menarik, terkait dengan saat ketika Injil mulai diterjemahkan secara lengkap dalam bahasa Arab (sebelumnya kira-kira pertengahan abad ke-6 Masehi, beberapa fragmen liturgis diterjemahkan sangat terbatas). Penerjemahan Injil ini dilakukan atas perintah 'amir al-Jazirah, Umair bin Sa'd bin Abi Waqqas al-Ash' ari. Waktu itu, Mar Yuhanna Abu Sedra II, 'amir meminta Patriarkh Syria agar seluruh ayat yang mengandung ajaran keilahian Yesus (sebagai Firman Allah) dan kisah penyaliban-Nya dihapuskan saja. Permohonan itu dijawab oleh Patirarkh Abu Sedra:

"Hasya liy 'an akhram hurfan wahidan minal Injili Rabbiy, wa lan akhtarmataniy saham ma'skarka kulluha."

Ertinya :


"
Tidak akan saya hapuskan satu huruf pun dari Injil Tuhan saya, meskipun seluruh anak panah tentera tuan akan menembus dada saya."

Mendengar jawaban itu, sang 'amir yang sangat menghargai ketuguhan iman sang Patriarkh, malah berkata: "Amdhi wa aktub kamma tara" yakni: Teruskanlah, dan tuliskan sebagaimana yang Anda ketahui).(8)

Dikisahkan, bahwa Patriarkh Abu Sedra II sendiri bersama orang-orang Kristen Syria yang menyambut kedatangan penjajah Muslim pada tahun 639. Penjajah-penjajah Muslim itu cuba menawarkan kepada Abu Sedra dan pengikutnya untuk masuk Islam. Setelah melalui diskusi teologis Patriarkh tetap teguh dengan pendiriannya. 'Emir Arab itu tidak mau berdebat lagi dan mulai berbicara tentang ketentuan-ketentuan yang berlaku bagi umat Kristen yang menetap di wilayah khalifat Islam. Penggalan kisah dan percakapan di atas masih mewakili pergumulan gereja-gereja Kristus di tanah Arab sampai sekarang.

Sejarah juga membuktikan bahwa selama 13 abad dalam perjalanan gereja-gereja Arab sesudah kedatangan Islam, penjajah-penjajah Islam telah cuba menghulurkan banyak godaan serta ganjaran materi dan kebendaan bagi orang Kristen supaya mereka mau meninggalkan iman mereka. Misalnya, pada zaman khalifah tertentu yang menerapkan pembatasan-pembatasan kepada umat Kristen. Orang-orang Kristen akan mendapat status sosial yang lebih tinggi apabila mereka menjadi Muslim. Kenyataannya, karena godaan serta penghuluran ganjaran-ganjaran ini banyak orang Kristen menukar iman mereka di waktu itu.

Mula-mula gereja-gereja Arab ini memang lebih dijamin kebebasannya di bawah kekuasaan Arab-Muslim. Seperti dicontohkan pada zaman Nabi Muhammad dan para sahabatnya. Hal intu ternyata tidak bertahan lama. Kebijaksanaan yang menjamin kebebasan beragama ini tidak dilanjutkan ketika pemerintahan jatuh ke tangan orang-orang Muslim non-Arab (Ottoman).

Sejak saat itulah babak baru penindasan atas gereja-gereja Arab dimulai, seperti yang pernah mereka alami sebelumnya ketika berada di bawah kekuasaan Kristen Byzantium dan Zoroaster/Sasanid.

BERTAHAN HANYA KARENA MUKJIZAT ALLAH

Satu hal yang patut dicatat, seperti dicatat Thomas Arnold dalam The Preaching of Islam,"(9) bahwa kalau ada satu faktor saja yang menahan gerakan besar-besaran mereka untuk meninggalkan iman mereka, satu faktor itu adalah mukjjizat Ilahi. Berada di bawah suatu kekuasaan politik yang berpindah ke kekuasaan politik lain memang selalu tidak mengenakkan. Dalam sebuah konspirasi persaingan politik, gereja-gereja di tanah Arab itu acap dijadikan "kambing hitam". Namun Allah selalu memeliharanya dengan kasih sayang-Nya, dan pertolongan-Nya selalu datang pada saat-saat krisis yang mengancam eksistensi mereka.

Saya ingin mengutip kisah mukjizat besar, yang membuktikan pemeliharaan Allah atas gereja-gereja ini. Pada masa pemerintahan al-Iman al-Aziz billah bin al-Mu'izz, kalifah pertama Dinasti Fatimiyah (975-996 Masehi), hiduplah seorang Yahudi bengis bernama Ibn Killis. "Tahukah Anda, hai Raja kaum beriman," provokator Yahudi itu memulai hasutannya. "Dalam kitab orang Nasrani tertulis bahwa apabila seseorang mempunyai iman sebesar biji sesawi saja ia akan dapat menggerakkan gunung dari tempatnya." Maksudnya, tentu saja ia menghendaki agar kalifah memanggil pemimpin tertinggi orang Kristen untuk membuktikan kebenaran kata-kata Injil tersebut.

Pada waktu itu, Patriarkh Koptik di Mesir yang dijabat oleh Anba Abram As-Suryani, tidak bisa mengelak dari permintaan raja untuk memohon mukjizat dari Allah. Padahal ayat ini tentu saja tidak boleh dipahami secara harfiah. Tantangan itu sudah mempertaruhkan eksistensi kekristenan di Mesir. Kalau doa Anba Abram tidak dapat mendatangkan keajaiban di hadapan raja itu, kekristenan akan dianggap sekadar kebohongan belaka.

Selanjutnya dikisahkan, Patriarkh memerintahkan para rahid dan seluru umat Kristen untuk berdoa dan berpuasa selama tiga hari berturut-turut. Pada hari yang ditentukan, Anba Abram bersama seluruh umat Kristen pergi menenuhi permintaan kalifah. "Kyrie eleison, Kyrie eleison, Kyrie eleison, " (10) begitu seluruh umat Kristen berseru dengan histeris kepada Allah yang Mahatinggi. Dan apakah yang selanjutnya terjadi? "Allahu akbar," seru kalifah pula, begitu menyaksikan sendiri gunung itu benar-benar bergerak. "Cukup, ya Patriarkh, semua telah membuktikan kebenaran imanmu." Menurut beberapa sumber sejarah Mesir, bukit yang bergerak itu sampai hari ini disebut Mokkatam (artinya: "pecah"), karena dahsyatnya mukajizat tersebut.(11)

Yang menarik adalah kisah ini bukan hanya dicatat oleh sumber-sumber sejarah Kristen saja, melainkan diabadikan pula oleh seorang pengarang Muslim, Abu Salih al-Armini dalam bukunya, Tadhakkur fiha Akhbar min al-Kana'is wa al-Adyar min nawahin Mishri wa al-Iqtha'aih (Daftar berita-berita tentang gereja-gereja dan biara-biara di propinsi Mesir dan wilayah wilayah di luarnya). Abu Salih membahas kisah ini dalam deskripsinya tentang Gereja St. Mercurius, yang juga dikenal sdengan nama Gereja "Abu As-Saifain".(12)

Setelah terjadi mukjizat itu, kalifah memerintahkan baik-pulih dan restorasi gereja tersebut atas biaya pemerintah Islam. Gereja ini sampai hari ini masih bisa kita saksikan di kota lama Kairo.

Kisah yang saya kutip di atas, dan masih banyak mukjizat lain yang terjadi sampai hari ini diizinkan oleh Allah terjadi atas gereja-gereja di Timur Tengah untuk membuktikan kebenaran kesimpulan Thomas W. Arnold. Jelas pula bahwa rentangan panjang sejarah kekristianan di dunia Arab menghadapi keadaan yang amat keras yang menyebabkan perpindahan beribu-beribu anggotanya ke Amerika, Eropa, dan Australia.

Seperti yang terjadi dengan Gereja Koptik, markaz al-Bathriki (pusat kepatriarkhan) Gereja Ortodoks Syria, juga mengalami perpindahan dari satu negara ke negara lainnya. Perpindahan ini terjadi akibat jatuh bangunnya kekuasaan-kekuasaan politik yang membawahi gereja yang mula-mula berpusat di kota purba Antiokhia ini. Tetapi bi-ni'matillahi ta'ala, hanya dengan anugerah Allah semata-mata, akhirnya pusat gereja ini kembali ke Syria dan menjadikan Damaskus sebagai pusatnya. Meskipun sejumlah besar anggota gereja Syria mengalami berbagai malapetaka dan penganiayaan yang mengerikan, melalui gereja Syria ini warisan gereja dari zaman Rasuli telah diselamatkan. Salah satunya adalah dilestarikannya bahasa Aram/Suryani sebagai "lughat as-Sayid al-Masih" (bahasa ibu dari Gusti kita al-Masih). Suatu fakta yang sangat menarik minat para ahli.

Bahkan juga tokoh-tokoh intelektual Muslim di Indonesia, seperti ditunjukkan dari tanggapan Dr. Nurcholish Madjid yang dikutip di depan, juga Dr. Komaruddin Hidayat dan Dr. Kautsar Azhari Noor (13). Saya sendiri merasa begitu takjub menyaksikan semua mukjizat ini, lebih-lebih sebagai 'prasasti hidup' yang boleh disaksikan oleh gereja-gereja Tuhan lainnya di seluruh muka bumi. Sebagaimana diungkapkan oleh Mar Ignatius Ya'kub III, Patriarkh Gereja Ortodoks Syria (1957 - 1983): "Wa fakhuruna biannana auladu ashshuhada' (Kami bangga menjadi putra-putri para syahid yang gugur di jalan Allah)." (14)

Apakah yang dapat dipelajari oleh gereja-gereja di Indonesia dari pengalaman saudara-saudara seiman mreka di Timur Tengah? Pertama, semua peristiwa itu terjadi justru ketika kesatuan gereja tercabik-cabik dan agama dijadikan alat kekuasaan politik oleh Kristen Byszantium. Kedua, kendati Allah sendiri mengizinkan semua penganiayaan terjadi, namun setiap kelemahan dan penderitaan menimpa tubuh gereja-Nya dan kuasa kebangkitan-Nya memberikan kekuatan baru. Hal ini benar-benar diyakini oleh gereja-gereja Arab, seperti yang dikidungkan dengan penuh iman pada setiap perayaan Paskah ('Id al-Fashda) sebagai berikut:

"Al-Masih qama min bainal amwat

wa wathiy al-mauta al-maut

wa wahaba al-hayata lil ladzina

ful qubur"

Kristus telah bangkit dari antara

orang mati, dengan kematian-Nya telah

diinjak-injak kematian, dan dikaruniakan-Nya

hidup baru bagi setiap orang yang ada

dalam kubur kematian.

 

Rujukan-rujukan dan referensi

Rencana ini di terbitkan dengan ehsan Mas Bambang Noorsena disertakan dengan penghargaan kepadanya.  

  1. Hadits Riwayat Bukhari, seperti dikutip oleh Munawir, Sikap Islam terhadap Kekerasan, Damai, Toleransi dan Solidaritas (Surabaya: Bina Ilmu, 1984), hlm 136.
  2. Editorial, "Religious Apartheid", dalam I.I.S.C. Bulletin (October - November, 1985), hlm. 2.
  3. Al-Ra'I, 25 Desember 1996.
  4. Y.W.M. Bakker, SJ. "Umat Katolik Perintis Indonesia", dalam M.P.M. Muskens, Pr. Sejarah Gereja Katolik Indonesia (Jakarta: Bagian Dokumentasi Penerangan MAWI, 1977, hlm. 31.
  5. Mar Ignatius Ya'qub III, Al-Kanisat Al-Anthakiyat As-Suryaniyat" 'Abara al-Ushur. Anthakiyat al-Orthodoksiyat (Damaskus: Alif-Ba' al-Adib Press, 1980), hlm. 25 - 27.
  6. Thomas W. Arnold, Sejarah Dakwah Islam (Jakarta: Widjaya, 1979), hlm. 68-69.
  7. Mar Ignatius Zakka I 'I Was, Kanisat al-Anthakiyat as Suryaniyat. Dirasat Suryaniyat No. 7 (Allepo: Mathraniyat Gregorius Ibrahim, 1981), hlm. 47 - 48.
  8. Mar Ignatius Ya'qub III, Al-Kanisat Al-Anthakiyat As-Suryaniyat" 'Abara al-Ushur Anthakiyat al-Orthodoksiyat (Damaskus: Alif-Ba' al-Adib Press, 1980), hlm. 25-27.
  9. Thomas W. Arnold, Sejarah Dakwah Islam (Jakarta: Widjaya, 1979), hlm. 68-69.
  10. Ungkapan Kyrie eleison berasal dari bahasa Yunani, lazim diserukan dalam liturgi Koptik, artinya: Ya Tuhan, kasihanilah (Arab: Ya Rabbu irham).
  11. Iris Habib el-Masri, The Story of the Copts (Kairo: The Middle East Council of Churches, t.t), hlm. 358-360.
  12. Terjemahan bahasa Inggris buku ini dikerjakan B.T. Evetts, The Churches and Monasteries of Egypt and Some Neighbouring Countries. Attributed to Abu Salih The Armenian (Oxford: At the Clarendon Press, 1985), hlm. 116-117. Menariknya lagi buku memuat informasi mengenai masuknya Injil pertama kali yang dbawa oleh orang Kristen Syria di Nusantara pada tahun 645, yaitu deskripsinya kota Fansur, Sumatra Barat. Dikisahkan, di sana sudah ada banyak gereja dan orang Kristen di sana berasal dari Syria Timur/Nestorian (fiiha 'idda biya' wa jami' min biha an-Nashara Nasthuri). Ibid, hlm. 300. Presiden Abdurrahman Wahid, dalam pidato Natal di Jakarta, 24 Desember 2000, juga menyinggung sekilas mengenai kedatangan Kristen Syria sebelum zaman Islam.
  13. TEMPO. "Mata Rantai yang Hilang", 9 November 1998.
  14. Mar Ignatius Ya'qub III, Op. Cit. Hlm. 22.

 


Indeks Utama