Mengenai Kata ALLAH

 

Dewasa ini, terdapat umat Islam di Malaysia (dan juga segelintir di Indonesia) yang tuntut bahawa kononnya, ‘tidak ada penganut agama-agama selain daripada Islam yang mengunakan kalimat-kalimat seperti “Allah”, “assalamu’alaikum”, “bismillah” dan kalimat-kalimat islamik’ yang lain seperti itu (lihatlah edisi majalah Al-Islam di Malaysia pada awal tahun 2008 ini). Kita dapati bahawa pendapat seperti di atas, dari segi ilmiah dan fakta semata-mata, bukan sahaja kedangkalan lagi sangat jahil, tetapi juga bersumberkan kepada kepalsuan yang ketara.

Marilah kita bersama-sama mengkaji data-data dan fakta-fakta berkenaan yang sudah ada dengan lebih teliti dan keikhlasan – supaya kita dapat mengasingkan kebenaran daripada kepalsuan, hakikat daripada dakyah kosong dan fakta nyata daripada kejahilan dan kepalsuan semata-mata! 

Kita mulakan pembahasan rinci mengenai pengunaan kata "Allâh" ini dari sudut bahasa. Kalimat "Allâh" berasal dari dua kata: al, dan ilâh. Al adalah kata sandang (banding bahasa Inggeris; the), dan ilâh bererti: “yang kuat”, dewa, dll. Dalam bahasa-bahasa Semitik, kata ini menunjuk pada kuasa yang ada di luar jangkauan manusia, yaitu pada dewa atau tuhan. Sudah di zaman pra-Islam, al-ilâh telah disambung menjadi Allâh. Dan dalam agama orang-orang Arab pra-Islam, kata ini digunakan untuk menunjuk pada dewa yang paling tinggi di antara dewa-dewa yang lain yakni, Pantheon yang masing-masing mempunyai namanya sendiri. Namun kata Allâh itu sendiri bukan nama, sepertimana diterangkan di atas.  

Dengan demikian, kata Allâh sudah ada dalam bahasa Arab sebelum Islam dalam zaman jahiliyyah atau zaman politheisme. Dan kalimat itu pun bukan ciptaan orang Islam, dan ia juga tidak baru muncul dalam Al-Qur'ân Al-karîm, melainkan, dari sudut bahasa, ia merupakan kata biasa dalam bahasa Arab lepas dari ikatan dengan salah satu agama tertentu.Contohnya,nama bapa nabi Muhammad sendiri ialah ‘Abdullah’ yakni bermaksud hambanya Allah. Akan tetapi ayah Muhammad itu tidak pernah melihat anaknya Muhammad kerana Abdullah sendiri telah meninggal dunia sebelum Muhammad berlahir! Agama yang dianuti bapa Muhammad itu adalah agama keberhalaan yaitu menyembah dewa-dewi suku Arab Kuraisy dan Allah juga adalah Tuhan mereka.

Secara etimologi dan semantik sahaja, kalimat Allah ini terdapat pula dalam beberapa bahasa-bahasa Semitik yang lain, mulai dengan bahasa Assyria dan Babylonia sampai bahasa Phoenicia di Ugarit, dan pula dalam bahasa Ibrani dan Suryani (Syria/Syam) atau Aramik yang luas digunakan di Timur Tengah sejak abad ke-5 sebelum Masihi sampai masa meluasnya agama Islam dan bahasa Arab pada abad ke-7 Masihi. Akar kata ini yang terdapat dalam bahasa-bahasa itu ialah dua konsonan, yakni alif dan lam (' l), dan ucapannya yang lengkap dengan huruf hidup adalah sesuai dengan gaya phonetik masing-masing bahasa, umpamanya 'el dalam bahasa Ibrani dan 'il dalam bahasa Arab. 

Yang dikenal dalam bahasa Ibrani (Hebrew), dan dengan demikian pula dalam nas Ibrani Perjanjian Lama (The Old Testament of the Bible) (Tanakh orang-orang Yahudi), adalah kata 'el dalam beberapa bentuknya, entah 'el-elyôn, dewa yang tertinggi, banding dengan Kejadian fasal 14, 'el syaddai (dewa yang kuasanya dahsyat), dan lain sebagainya atau kata 'elôah (kepanjangan huruf kata vokal untuk menandai kebesaran). Dengan mengikut tata phonetik, maka 'elôah dalam bahasa Ibrani adalah sama dengan bentuk ilâh dalam bahasa Arab. Dari bentuk 'elôah ini dibentuklah kata majmuk 'elôhim. 'Elôhim-lah yang paling kerap digunakan dalam Perjanjian Lama, di mana kejamakan7nya menunjuk kepada kemahabesarannya (pluralis majestatis, atau jamak kemuliaan yang pula dikenal dalam Al-Quran di mana perkataan Allâh dikemukakan dengan kalimat nahnû yaituKami). Di samping itu, "tetragrammaton" (YHVH, Yahveh) digunakan pula, namun ialah nama Allâh (Kel. 3:14 dsb).  

Di kemudian waktu, nama itu tidak diucapkan lagi melainkan dalam bacaan nas suci ia digantikan dengan ucapan adônai (Tuhan, Lord) atau saja dengan kata sh'mâ/shema (bahasa Aramik, band. bahasa Ibrani syêm dan bahasa Arab ‘ism, ertinya "nama itu". Ucapan adônai atau shema  hanya digunakan dalam pembacaan, sedangkan dalam nas Ibrani yang tertulis, empat huruf “YHVH” (kekadang juga “YHWH”) tetap ditulis. Kebiasaan ini mengundang suatu kekeliruan di kalangan orang yang jahil dan yang tidak mengetahui mengenai kebiasaan ini. Ketika tanda-tanda untuk huruf hidup (atau vowels) ditambahkan kepada nas Kitab Suci bahasa Ibrani yang tertulis, maka tulisan YHVH ditandai dengan huruf-huruf hidup dari kata adônai, dan kombinasi ini memberikan kesan seolah-olah kata itu dibaca "Yehovah".  

Kekeliruhan ini sampai kini tetap dipertahankan oleh beberapa kelompok bidaat ‘Kristian’ (seperti Saksi Yehovah) yang tidak tahu tentang aturan bahasa Ibrani dalam soal membaca nas suci kitabiah. Jika YHVH merupakan nama Allah yang kemudian tidak diucap, maka kata 'elôah, 'elôhim tetap digunakan dan boleh samasekali diucapkan. 

Kalimat „Allâh" itu memanglah bukan nama. Dalam agama Islam dikenal ada 99 nama Allâh yang terindah (al-asmâ' al-husnà), dan di antaranya "Allâh" tidak disebut. Hanya dalam tasawuf (aliran mistik sufi) Islam sekali-kali dikatakan bahwa "Allâh" sebenarnya adalah nama yang ke-seratus yang dalam dirinya tertuang semua 99 nama yang lain. Akan tetapi inilah bahasa kesalihan (piety) atau bahasa pemujaan/penyembahan, bukan bahasa Ilmu Tauhid. 

Dalam terjemahan Perjanjian Lama atau Tanakh ke dalam bahasa Yunani yang disebut Septuagint dan yang dikerjakan sekitar 150 tahun sebelum Masehi oleh orang-orang Yahudi yang bermukim di Mesir, istilah tetragrammaton (yakni 4 huruf tulisan YHVH/YHWH) dialihkan dengan kyrios (ertinya sama dengan adônai, Tuhan atau Rabb), dan dari situ pengunaannya diambil oleh umat Kristian dan Perjanjian Baru yang juga telah ditulis ke dalam bahasa Yunani. Sedangkan kata 'el, elôah atau elôhim dialihkan dengan kata ho theos, "the God/Sembahan itu" yang sama ertinya dengan al-ilâh atau Allâh, dan demikian pula penggunaannya telah termuat dalam Perjanjian Baru (yaitu Kitab Suci Injil)

Dalam khotbah rasul Paulus di Areopagus di kota Athena, Paulus malah menghindari menyebut dewa-dewa Yunani dengan kalimat theoi (bentuk jamak/majmuk dari theos – ‘tuhan’) ketika ia menyinggung rasa keagamaan umat Athena yang tinggi (Kisah Para Rasul 17:22). Kata yang dia telah pakai ialah deisidaimonesterous, yang dalam bahasa Latin diterjemahkan dengan superstitiosiores, "yang sangat percaya kepada hal-hal yang sangat luar biasa". Jadi „dewa-dewa" Yunani disebut Paulus sebagai daimon, yakni begu atau leyak dalam bahasa-bahasa suku Indonesia atau jinn dalam bahasa Arab dan bahasa Melayu. Mereka bukan dewa, sehingga kata ho theos hanya digunakan untuk menunjuk kepada Allah yang benar.  

Hal ini kurang diperhatikan dalam terjemahan AlKitab bahasa Indonesia yang menterjemahkan kata Yunani itu dengan „yang sangat beribadah kepada dewa-dewa"; terjemahan itu tidak tepat. Dalam bahasa Alkitab, istilah-istilah yang digunakan diperiksa dengan sangat saksama. Kesaksamaan yang dialektis itu juga nampak dalam Injil Yohannes, umpamanya dalam dua ayatnya yang pertama di mana dalam terjemahan-terjemahan perbezaan di antara theos dan ho theos (ilâh dan Allâh) tidak diperhatikan. Kata (ho) theos ini hanya digunakan untuk menunjuk kepada Allah yang benar dan tidak digunakan untuk dewa-dewa orang politeis. Suatu teologi yang bersifat ilmiah harus peka terhadap rincian-rincian seperti itu. 

Melihat kewaspadaan rasul Paulus dan para penulis Alkitab yang lain dalam perkataan yang mereka pilih untuk menyebut Allah, maka menghairankan benar bilamana dalam terjemahan Alkitab ke dalam bahasa Indonesia, "dewa-dewa" orang-orang politeis juga diterjemahkan dengan 'allah-allah". Terjemahan itu salah, baik dari sudut teologi mahupun dari sudut filologi. "Dewa-dewa" itu, paling boleh diterjemahkan dengan "ilah-ilah" sebagai pengganti majmuk bahasa Arab yaitu âliha, atau lebih baik lagi diterjemahkan dengan "dewa-dewa". Juga tulisan "illahi (pakai dua "l") yang sering kita temui memang salah adanya! 

Dalam terjemahan Perjanjian Lama dan perjanjian Baru ke dalam bahasa Syria (suryani) yang digunakan di Syria sebelum munculnya Islam dan yang merupakan salah satu cabang bahasa Aramik dan termasuk rumpun bahasa-bahasa Semitik, terjemahan mana dikerjakan baik oleh orang-orang Yahudi mahupun Kristian, maka kata yang digunakan untuk "Allâh" adalah lagi kata yang biasa digunakan dalam bahasa-bahasa Semitik, yakni yang berakar dalam akar-kata 'l dan dalam bahasa Syria (suryani) diucapkan alâhâ, "dewa itu" yang sama ertinya dengan ha-'elôah dalam bahasa Ibrani, ho theos dalam bahasa Yunani dan Allâh (= al-ilâh) dalam bahasa Arab.  

Dengan demikian tidak menghairankan pula bahawa orang-orang Islam menggunakkan kata Allâh (= al-ilâh) untuk menunjuk kepada Allah yang benar, dan orang-orang Yahudi dan Kristian baik yang sudah menggunakan bahasa Arab sebelum agama Islam disebarkan mahupun yang kemudian menggunakan bahasa Arab setelah wilayah mereka dikuasai oleh orang-orang Arab, memakai kata yang sama itu pula sebagaimana terbukti dari syâ'ir-syâ'ir Kristian Arab pra-Islam dan tulisan-tulisan Kristian Arab sesudah Islam datang. Tidak masuk akal bagi orang Muslim pada waktu itu untuk mengurus bahasa orang yang bukan Muslim. 

Jadi kata Allâh sebagai salah satu kata yang memang tertanam dalam bahasa Arab dan senantiasa digunakan oleh setiap orang yang menggunakan bahasa Arab itu, lepas dari ikatan agamanya. Ia sudah digunakan oleh orang Arab di zaman pra-Islam yang sering disebut "zaman jahiliyya", kemudian dipegang bersama-sama orang Yahudi dan Kristian yang menggunakan bahasa Arab dan kemudian pula orang-orang Islam, semua berdasarkan latar belakang etimologi kata itu sendiri, akan tetapi dengan memberikan isi dan makna sesuai dengan pemahaman teologi masing-masing yang berbeza satu sama dengan yang lain. 

Tambah anehnya bahwa masalah ini muncul di sebuah wilayah di mana bahasa Arab merupakan bahasa asing. Yang "punya" bahasa itu sebenarnya pertama-kali mereka yang menggunakannya dalam kehidupannya sehari-hari, termasuk dalam bidang komunikasi umum mahupun keagamaan. Namun di antara orang Arab tidak muncul masalah sebagaimana ia dikembangkan di luar wilayah yang berbahasa Arab itu. Semua aliran keagamaan yang hidup di Timur Tengah menggunakan kata Allâh sesuai dengan maknanya yang pokok, dan versi Arab dari Alkitab Kristian mahupun kitab-kitab suci aliran-aliran yang lain menggunakannya sebagai bahagian khazanah bahasa Arab itu. Sama halnya dalam bahasa sehari mahupun dalam liturgia.  

Dari manakah orang bukan Arab mengambil hak dan wewenang untuk menentukan siapa yang boleh memakai bahasa atau kata Arab dan siapa tidak, kalau orang Arab sendiri tidak peduli? 

Hal itu diakui pula dalam Al-Qur'an sendiri di mana nabi Muhammad dalam percakapan dengan umat Kristian dan Yahudi menggunakan pula kata Allâh dan dengan sendirinya dicatatlah dalam buku suci umat Islam itu bahawa orang Yahudi dan Kristian menggunakan kata yang sama. Dalam tradisi Islam yang berbahasa Arab pun tidak pernah dipersoalkan bahawa orang-orang Yahudi dan Kristian menggunakan istilah yang sama dengan orang Islam untuk menyatakan Dia yang menjadi tujuan ibadah dan amal mereka. Malah juga dalam "Perjanjian/Piagam Madinah" yang diadakan sesudah Hijriah, maka diakui pula bahwa Yahudi (dan Kristian) memang berbeza dalam agama (dîn), namun mereka tetap masuk ummat Allâh yang satu, yakni yang menyembah kepada Allah yang benar.  

Dan hal ini diperkukuhkan lagi oleh Hadith yang memberitakan bahwa orang-orang Kristian dari wilayah Najran, ketika mereka bertemu dengan nabi Muhammad di Madina untuk membicarakan hal-hal dogmatik di mana mereka berselisih faham dengan nabi, mereka dengan sendirinya diundang beliau untuk mengadakan ibadat mereka di musallah rumahnya kerana di Madina tidak ada gereja. Maka diakui beliau bahwa mereka beribadat kepada Allah yang sama meskipun dengan agama (dîn) yang berbeza. Mempersoalkan sikap nabi Muhammad dan menafikannya dengan sikap yang melawannya, merupakan gejala yang baru yang bertentangan dengan Al-Qur'an dan sunnah nabi, dan kerana itu semestinya disebut sebagai bid'at.  

Bid'at itu muncul umpamanya di Malaysia di mana orang-orang bukan Islam di beberapa bahagian dilarang untuk menggunakan kata Allâh dan beberapa kalimat-kalimat Arab lainnya. Orang-orang yang membujuk pemerintah Malaysia untuk tindakan itu sebenarnya jahil terhadap agama Islam dan tradisi ajarannya yang bersumber pada Al-Qur'an dan Sunnah nabi Muhammad!  Kejahilan itu boleh saja dianggap masalah mereka sendiri. Namun dengan mencampuri urusan agama-agama orang yang lain yang mereka juga tidak fahami!

Selain agama Kristian maka agama orang Sikh dikena pula sebab dalam buku-buku suci mereka sudah digunakan kata Allâh sehingga mereka malah dilarang oleh pemerintah mereka membaca Kitab Suci mereka dalam bahasa aslinya yang oleh mereka juga difahami sakral (kudus/suci) adanya – masalah itu menjadi masalah fitnahan dan intimidasi sebenarnya! Di mana orang-orang jahil itu hendak memaksakan pendapat mereka bahawa umat-umat beragama lain memuja dewa selain Allah. Fitnahan itu melanggar tata susila dan akhlaq, suatu hal yang tidak layak bagi orang beragama dan yang meracuni hubungan lintas agama maupun lintas budaya

Di Indonesia dapat pula muncul masalah bilamana syahâdah Islam yang pertama, la ilâha illa 'llâh, diterjemahkan: "tiada Tuhan selain Allah". Terjemahan itu keliru kerana erti ilâh bukanlah "tuhan" melainkan "dewa", sedangkan "tuhan" itu ialah rabb dalam bahasa Arab, bukan ilâh atau Allâh. Hal itu pun tidak perlu menjadi masalah selama setiap umat beragama mengurus ajarannya masing-masing, sesuai dengan nas dan maksud sila pertama dalam Pancasila.  

Namun ia menjadi masalah bilamana pemeluk salah satu agama merasa diri terpanggil untuk mentafsirkan dan menghasut ajaran agama yang lain dengan bertolak dari ajaran agamanya sendiri. Umat Kristian mengaku Yesus Kristus ('Isa al-Masih) sebagai Tuhan (rabb) berdasarkan faham mereka tentang penyataan Allah yang menyatakan DiriNya dan KehendakNya sebagai yang tritunggal. Jadi menyebutkan Yesus sebagai "Tuhan" dengan mengingat latar belakang kata itu dalam Alkitab yakni YHVH atau nama Allah dengan yang mana Allah memperkenalkan diri, bererti bahawa tetap Allah yang satu itu ditujukan melalui penyataanNya. Tidak mungkin mempertentangkan atau memisahkan Yesus Kristus sebagai penyataan dengan Allah yang menyatakan DiriNya di dalamnya dan yang sekaligus berkuasa melalui Rohnya yang kudus. Inilah faham tentang Allah yang tritunggal yakni Allah yang sama dan satu yang melalui wahyuNya sendiri memperkenalkan Diri dalam tiga penampilan yang berbeza.

Namun diketahui pula bahawa di antara orang-orang Islam ada yang menuduh orang Kristian percaya pada tiga dewa di mana Allah dipisahkan dari Yesus Kristus dan Rohulkudus, atau malah Maryam. Atas latar belakang tuduhan itu maka sebutan Yesus Kristus sebagai Tuhan boleh menimbulkan kesan seolah-olah dia disembah di samping, atau selain Allah dan jika itu diterima, maka orang Kristian boleh juga dituduh berdiri di luar Pancasila dan Ketuhanan yang Maha Esa. Huraian seperti itu memang mentahrifkan (memutarbalikkan) ajaran Kristian, namuan rupanya ia tetap disebarluaskan dan malah digemari oleh pihak yang tidak faham dan suka memfitnah. 

Kenyataan itu sayogianya merangsang orang-orang Kristian sendiri untuk senantiasa memeriksa kembali bahasa ajaran teologi dan pengakuan mereka sendiri supaya jangan mereka sendiri turut menimbulkan kesalahfahaman seperti itu. Kelalaian dalam bahasa iman harus dihindarkan. Jika umpamanya dalam cetakan Pengakuan Iman Rasul-rasul dicetak begini:

             Aku percaya kepada Allah, Bapa yang Mahakuasa ….. dst.

dan kepada Yesus Kristus …..dst.,

dan aku percaya kepada Rohulkudus ….. dst.

maka dengan sendirinya timbul kesan seolah Allah dan Bapa itu sama sedangkan dua penyataan Allah yang lain (Yesus Kristus dan Rohul-kudus) berbeza. Yang seharusnya dicetak ialah:

Aku percaya kepada Allah:

1) Bapa yang mahakuasa…, dan

2) Yesus Kristus… dan

3) Aku percaya kepada Rohulkudus… dst. 

Sehingga titik 1 s/d 3 menjadi jelas sebagai penerangan tentang Allah yang satu dan siapa Dia dan pekerjaanNya. "Penerangan" dalam bahasa teologi atau kalam, ialah penyataan atau wahyu. Jadi faham tentang Allah yang tritunggal bukanlah hasil pemikiran manusia melainkan isi dari penyataan Allah terhadap Diri sendiri. Demikian pemahaman orang Kristian. 

Sebenarnya tidak pernah ada perselisihan antara Muslimin dan Kristian menenai syahada Islam yang pertama: tiada ilâh selain daripada Allâh. Perselisihan muncul berhubung dengan bahagian syahâda bahagian kedua: "dan aku menyaksi bahwa Muhammad rasûl Allâh". Pengakuan ini ialah ciri khas dîn al-Islâm. Namun kenyataan ini pun sesuai dengan ucapan Perjanjian Medina: Ummat Allah ialah satu ummat (ummatu 'llâh ummatun wahîda), akan tetapi: Li-l-Yahûd dînuhum wa-li-l-Muslimîna dînuhum (kepada Yahudi dîn – agama – mereka dan kepada Muslimin dîn mereka). Demikian sikap dan ketentuan Islam yang asli: satu ummat kerana satu Allah, namun dîn berbeza kerana nabi masing-masing berbeza. Bagaimana mereka yang hendak mempertentangkan sebahagian ummat Allah terhadap yang lain membenarkan sikap mereka di hadapan ketetapan nabi Islam sendiri? 

Oleh kerana latar belakang etimologi dan sebahagian pula tradisi kepercayaan bersama agama-agama yang dalam tradisi Islam disebut "agama-agama surgawi" (al-adyân as-samâwiyya) maka orang-orang Islam yang tinggal sekarang di benua Eropah atau Amerika di tengah-tengah umat Kristian dan yang menggunakan bahasa-bahasa Eropah, sejak lama menuntut bahawa mereka pula dapat menerjemahkan kata Allâh ke dalam bahasa-bahasa Eropah itu menjadi God, Gott, Dieu dan lain-lain. Mereka dulu dihalang oleh beberapa tokoh gereja yang menuduh bahwa "Allah" ialah dewa lain dari pada yang dikenal di Eropah. 

Namun tuntutan orang Islam itu memang tidak dapat ditolak kerana "Allâh" bukan nama melainkan sebutan, dan Allah hanya ada satu sedangkan yang berbeza ialah agama-agama. Ataukah harus orang-orang Eropah mengikuti contoh fitnahan dan melarang orang-orang Islam (dan yang menganut agama lain pula) menggunakan kata-kata Eropah itu, dengan latar belakang fikiran dalam benaknya bahawa "Allah" merupakan nama pahala orang-orang Arab dan Islam dan tidak boleh diucapkan dengan kata bahasa orang Eropah? Lucu atau fasik idea itu, dan fitnahan hanyalah berbalik! Namun sama anihnya bilamana sebuah pemerintah merasa berwewenang untuk mencampuri urusan agama dan akidah orang ramai, yakni rakyatnya sendiri! 

Bagaimanakah seandainya penganut-penganut agama Buddha di Malaysia atau Indonesia mahu melarang orang-orang Islam untuk menggunakan istilah-istilah yang masuk ke dalam bahasa Melayu dari bahasa Sanskrit melalui tradisi Buddhisme pada zaman kerajaan Sri Wijaya sebelum Islam, seperti kata-kata dosa, karunia/kurnia, manusia, syurga, duka, suka, rasa, cita dan puluhan lainnya yang punya konotasi keagamaan? 

Bahasa adalah cara dan alat komunikasi di antara manusia. Kalau mahu menyampaikan sesuatu dengan tepat, maka bahasa harus juga tepat. Tiga agama monotheistik  yang mengaku Abraham (Ibrahim) sebagai "nenek-moyang" dan leluhur iman mereka memang punya banyak kesamaan – di samping perbezaan pula – sehingga dalam soal mengungkapkan keyakinan keagamaan mereka, mereka sering menggunakan bahasa yang sama, meskipun diberikan definisi berbeza sesuai dengan rincian keyakinannya. Bahasa yang membawa faham monotheistik ke kawasan Asia Tenggara ialah bahasa Arab yang dibawa oleh pemeluk Islam sehingga ia diambil oleh para Muslim Melayu dulu, sama seperti di India Utara (bahasa Urdu) atau malah Persia. 

Orang Kristian yang berbahasa Melayu dan yang juga monotheistik mempertahankan bahasa itu bersama dengan kata-kata Arab kerana mereka temui banyak konotasi yang mereka sudah mengenal dari perkembangan agama-agama mereka di Timur Tengah yang berbahasa Arab. Sudah terjemahan-terjemahan Alkitab ke dalam bahasa Melayu yang dikerjakan abad ke17 dan ke-18 menggunakan kata-kata itu. Sementara ini bahasa Melayu sudah dijadikan bahasa nasional baik di Indonesia mahupun di Malaysia, yakni ia bukan secara eksklusif "bahasa agama". Dengan demikian, penggunaan bahasa Melayu dengan segala khazanah linguistiknya sekarang ialah hak seluruh bangsa, bukan sebahagiannya sahaja. Menggugat kenyataan ini menimbulkan pertanyaan bukan saja mengenai faham keagamaan melainkan juga mengenai faham kebangsaan mereka yang hendak mempertentangkan satu kelompok terhadap yang lain. 

Memang tidak dapat disangkal adanya suatu masalah. Namun yang menjadi masalah ialah soal dogmatika atau 'aqîdah sebab tiga agama surgawi itu mempunyai faham dogmatik yang berbeza mengenai Allah yang sama, baik hakikat-Nya mahupun pula mengenai cara penyataan-Nya dan tindakan-tindakan-Nya. Namun soal dogmatik adalah satu hal, dan soal bahasa sebagai alat komunikasi antara manusia adalah hal yang lain.

Bahasa tidak dapat dibatasi pada satu falsafah atau agama tertentu saja. Hal itu berlaku juga bagi bahasa Arab yang merupakan ciptaan manusia (yakni manusia Arab). Juga kalau Allah – menurut kepercayaan umat Islam – memilih bahasa Arab untuk wahyunya yang terakhir maka bahasa Arab tetap bahasa manusia, bukan bahasa keramat! Sebagai alat komunikasi ia bebas untuk diguna-pakai oleh mereka yang hendak berkomunikasi. 

Pluraliti agama (dîn) diterima dalam Al-Quran. Yang mana yang benar dan yang mana yang tidak benar pada akhirnya akan diterangkan oleh Allah sendiri. Sementara ini kelompok-kelompok diajak untuk berlumba-lumba membuat apa yang baik (Sura al-Mâ'ida 5:48 dan di lain tempat). Memfitnah dan menghasut orang-orang yang lain agamanya tidak masuk dalam perbuatan al-khairât.

 

Notakaki : Nota-nota kaki dan sumber-sumber ilmiah makalah ini tidak disertakan di dalam edisi on-line ini.

 


Indeks Utama