Kemustahilan Wahyu Qur'an

Mustahil menggunakan bahasa manusia untuk berbicara mengenai Allah. Itu berarti jika Quran itu kredibel dalam apa yang dikatakannya mengenai natur dan karakteristik Allah, maka Quran tidak dapat menjadi wahyu dari Allah. Dengan kata lain, jika Quran itu palsu/keliru, maka Quran keliru; jika Quran itu benar, Quran juga keliru; oleh karena itu Quran itu keliru. Pengajaran Quran ini membawa kepada kemustahilan menggunakan bahasa manusia untuk menggambarkan Allah. 
Oleh karena itu, mengingat bahwa Quran ditulis dalam bahasa manusia, maka Quran bukanlah ekspresi Allah, Quran tidak dapat menjadi wahyu dari-Nya, juga bukan perkataan-Nya. 


Bassam Khoury

Qur’an menyampaikan konsep mengenai Allah dengan cara sedemikian sehingga membuat wahyu Quran itu sendiri menjadi mustahil. Untuk memahami hal ini, marilah kita melihat sebuah ayat Quran: 

“… Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat” (Q. 42:11).

Untuk mengawalinya, jika kita berpendapat karakteristik-karakteristik Allah yang ditunjukkan Quran dan cara orang Muslim menanggapinya, maka kita akan menemukan bahwa semua itu hanyalah perkataan yang tidak bermakna. Penulis Nahj Al-Balagha, mendefinisikan karakteristik Allah dengan mengatakan:

Yang terutama dalam agama adalah pengakuan akan Dia, kesempurnaan pengakuan akan dia adalah bersaksi tentang Dia, kesempurnaan kesaksian akan Dia adalah keyakinan kepada keesaan-Nya, kesempurnaan keyakinan akan keesaan-Nya adalah dengan memandang-Nya Suci, dan kesempurnaan kesucian-Nya adalah menyangkali atribut-Nya, karena setiap atribut adalah bukti bahwa hal itu berbeda dari yang diatributkan dan segala sesuatu yang diberi atribut berbeda dari atribut itu sendiri. Jadi barangsiapa mengkaitkan atribut kepada Allah mengakui rupa-Nya, dan barangsiapa mengakui rupa-Nya memandang-Nya dua; dan barangsiapa memandang-Nya dua mengakui bagian-bagian (diri)-Nya; dan barangsiapa mengakui bagian-bagian (diri)-Nya keliru tentang Dia; dan barangsiapa keliru tentang Dia menunjuk jari pada-Nya; dan barangsiapa menunjuk jari pada-Nya mengakui keterbatasan-Nya; dan barangsiapa mengakui keterbatasan-Nya, menghitung-Nya. Barangsiapa mengatakan Ia ada di dalam apa, beranggapan Ia ada dalam sesuatu; dan barangsiapa mengatakan pada apa Ia berpegang, Ia tidak berpegang pada sesuatu yang lain. Ia adalah Sosok (sebuah keberadaan) tetapi tidak melalui fenomena menjadi sesuatu. Ia eksis tetapi tidak dari ketiadaan. Ia ada bersama segala sesuatu tetapi bukan dalam kedekatan fisik. Ia berbeda dari segala sesuatu tetapi bukan dalam keterpisahan fisik. Ia bertindak tetapi tanpa konotasi pergerakan dan instrumen. Ia melihat sekalipun tidak ada yang dilihat dari antara ciptaan-Nya. Ia hanya Satu, sehingga tidak ada satupun yang mendampingi-Nya atau dengan siapa Ia akan merasa kehilangan dalam ketiadaan-Nya. (Source)

Ibn Ishaq Al Kindy1 mengatakan:

“Allah, kiranya Ia dipuji dan ditinggikan, adalah benar-benar esa, dan tidak mengijinkan multiplikasi atau komposisi apapun. Ia melampaui deskripsi, dan tidak dapat digambarkan oleh kategori apapun.” (Majalah Universitas Umm-Al-Qura, Vol. 6, h. 123)

Ini membuat semua perbincangan mengenai Allah tidak berarti, ditambah lagi hal itu mengakibatkan timbulnya referensi paradoks seperti: Allah, yang tidak dapat digambarkan oleh kategori apapun, ada dalam kategori yang tidak komposit. Atau, Allah ada dalam kategori-Nya sendiri, yaitu kategori yang tidak dapat dikategorikan. Atau, Allah dapat digambarkan sebagai sosok yang tidak dapat digambarkan.

Orang Muslim akan mengatakan bahwa mereka yang berpandangan seperti itu bukanlah orang-orang yang Sunnah. Tetapi pandangan-pandangan orang Muslim Sunni hampir-hampir tidak merepresentasikan perbaikan terhadap pandangan-pandangan di atas. Doktrin Islam Sunni berkenaan dengan nama-nama dan karakteristik Allah menyatakan:

“Nama-nama Allah – kiranya ia ditinggikan – bergantung pada Quran dan Sunnah, tanpa penambahan atau pengurangan; dan karena nalar tidak dapat memahami nama-nama yang layak bagi Allah, maka nalar semata-mata hanya dapat bergantung kepada teks tersebut” (Al-Majla Sharh Al-Akeeda Al-Muthla – Ibn Otheimeen 1:8)

Pada poin ini orang Muslim Sunni akan mengatakan pada kita bahwa mereka mengkonfirmasi apa yang menjadi milik Allah menurut Kitab (Quran) dan Sunnah. Tetapi ini tidak menjelaskan apapun; kita telah mengakui bahwa karakteristik-karakteristik itu ada. Masalahnya adalah dengan melihatnya dalam terang doktrin Muslim, semua itu hanya kata-kata kosong. Teks Sura 42:11 mengatakan pada kita bahwa “Ia Maha Melihat lagi Maha Mendengar”. Tetapi apa arti kalimat itu menurut keyakinan orang Muslim Sunni? Alasan hanya mempertimbangkan keyakinan Sunni adalah fakta bahwa yang lainnya telah mengeluarkan kita dari diskusi ini dengan ijin mereka, sebagai contoh orang Syiah mengemukakannya demikian: “Kesempurnaan kesucian-Nya adalah menyangkali atribut-Nya”, dan faktanya, “Ia tidak dapat digambarkan oleh kategori apapun”.

Sedangkan bagi kaum Sunni, mereka mengkonfirmasi karakteristik-karakteristik, tetapi mereka mengatakan bahwa keyakinan fundamental kaum Sunni adalah bahwa Allah harus digambarkan oleh apa yang digunakan-Nya untuk menggambarkan diri-Nya sendiri atau oleh apa yang digambarkan oleh Utusan Allah (SAW) tanpa perbandingan atau keserupaan dengan apapun, atau interpretasi dan nulifikasi (pengosongan).

Konfirmasi karakteristik Allah dan karakteristik lainnya tidak serta-merta berusaha untuk menyamakannya dengan karakteristik manusia. Faktanya semua karakteristik itu tidak sama dangan karakteristik manusia, melainkan karakteristik yang sesuai dengan keagungan dan kemuliaan-Nya: “Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia” (42:11).

Untuk memahami suatu hal kita harus mengetahui apa arti istilah-istilah yang digunakan.

Menyerupakan: meyakini bahwa karakteristik yang dimiliki Allah serupa dengan karakteristik manusia. 

Analogi: meyakini bahwa karakteristik yang dimiliki Allah analogis dengan karakteristik manusia.

Nulifikasi/pengosongan: menyangkali karakteristik Allah atau atribut-Nya sepenuhnya.  

Interpretasi: berarti berusaha memahami kata-kata dengan cara lain selain dari makna aslinya, seperti mengatakan “tangan” artinya kekuasaan, atau “mata” berarti peduli, dan sebagainya.

Berdasarkan definisi-definisi di atas, mustahil memahami kata apapun. Anggaplah kita menanyakan makna “Maha Mendengar lagi Maha Melihat”. Jawabannya adalah, ‘kalimat itu berarti “Maha Mendengar lagi Maha Melihat”’. Namun demikian, makna ini – menurut orang Muslim – tidak dapat diasosiasikan dengan gambaran apapun yang sesuai dengan nalar manusia. Para cendekiawan mereka menekankan hal ini hingga mereka mengatakan: “Mustahil bagi Allah – kemuliaan dan kuasa bagi-Nya – menempatkan diri-Nya dan karateristik-Nya seperti yang dibayangkan atau digambarkan oleh manusia, karena Allah berbeda dari apapun yang dapat anda pikirkan” (The Explanation of the Tahawi’s belief – Saleh Al Al-Sheikh – ceramah pada Sabtu tanggal 13 Thee Al Kaadeh, 1417 H – dikutip dari Comprehensive Encyclopaedia; source, halaman (1/168))

Tetapi jika kata-kata seperti itu tidak dapat didefinisikan, lalu apa bedanya antara mengatakan bahwa Allah itu “Maha Mendengar” dan Allah “Maha Melihat”? Dengan pendekatan demikian, semua “karakteristik” Allah kolaps menjadi satu “karakteristik” yang tidak bermakna.

Bahkan ketika semua karakteristik Allah menggunakan istilah yang sama dengan karakteristik makluk ciptaan, menurut orang Muslim maknanya berbeda. Lalu mereka mengatakan: “Manusia tidak diperbolehkan mengatakan: Allah mengetahui dan saya (juga) mengetahui, Allah ada dan saya ada, Allah hidup dan saya hidup (juga), Allah mampu dan saya (juga) mampu. Saya tidak boleh mengatakan hal ini dengan bebas tetapi mengkhususkan bahwa pengetahuan, kemampuan, eksistensi dan hidup Allah berbeda dengan pengetahuan, kemampuan, eksistensi dan hidup kita” (The Essence of Explaining the Islamic belief – the subject of Allah’s characteristics; source, 3rd point: The un-likeness to creation)

Jika kita memandang diskusi di atas secara logis, kita akan menemukan bahwa doktrin Islam membuat wahyu Quran menjadi mustahil.

Mengenai Allah, Qur’an berkata “tidak ada yang serupa dengan-Nya”

Ini berarti bahwa Allah sama sekali bukan seperti yang anda pikirkan tentang Dia.

1. Orang Muslim memercayai doktrin "Mukhalaft مخالفة" ‘ketidakserupaan’, yang berarti tidak ada keserupaan apapun antara Allah dan karakteristik-Nya, di satu sisi, dengan semua yang dimiliki ciptaan, di sisi lain.

2. Qur’an adalah perkataan Allah yang tidak sama dengan perkataan manusia. (Arabic source untuk poin ke-4)

Poin di atas menunjukkan bahwa mustahil menggunakan bahasa manusia untuk berbicara mengenai Allah. Itu berarti jika Quran itu kredibel dalam apa yang dikatakannya mengenai natur dan karakteristik Allah, maka Quran tidak dapat menjadi wahyu dari Allah. Dengan kata lain, jika Quran itu palsu/keliru, maka Quran keliru; jika Quran itu benar, Quran juga keliru; oleh karena itu Quran itu keliru.

Pengajaran Quran ini membawa kepada kemustahilan menggunakan bahasa manusia untuk menggambarkan Allah. 

Oleh karena itu, mengingat bahwa Quran ditulis dalam bahasa manusia, maka Quran bukanlah ekspresi Allah, Quran tidak dapat menjadi wahyu dari-Nya, juga bukan perkataan-Nya. 

Artinya, jika Quran berkata benar mengenai Allah, maka Quran tidak dapat benar mengenai dirinya sendiri, demikian sebaliknya.  

Satu-satunya cara bagi orang Muslim untuk memecahkan dilema ini adalah dengan menganggap semua perkataan Quran bukanlah fakta juga tidak ekuivalen dengan konsep manusia apapun walaupun menggunakan istilah yang sama. Walau diekspresikan secara berbeda, kata-kata itu sesungguhnya tidak berarti apa-apa, faktanya semua itu hanyalah perkataan kosong.  

Jadi, pengajaran Muslim bahwa Allah itu tidak sama dengan apa yang kita pikirkan secara logis berarti bahwa jika kita telah memahami apa yang dikatakan Quran mengenai Allah, Ia tidak sama dengan apa yang dikatakan Quran mengenai Dia.

 

Catatan kaki

1 Ibn Ishaq Al Kindy bukanlah orang Syiah. Ia adalah seorang filsuf Muslim yang dipengaruhi teologi Mutazilah. Untuk informasi lebih lanjut, Wikipedia pada Al-Kindi.

2 yaitu berbagai sekte Islam lainnya, kaum Mutazilah adalah kelompok yang paling penting selain Syiah.
www.answering-islam.org/authors/khoury/quran_impossible.html