Quran atau Hadith - Yang Mana Yang Lebih Otentik?

Menyangkali sebuah hadis adalah sebuah taktik bertahan yang mudah dilakukan oleh para apologet Muslim, dalam usaha mereka untuk mempertahankan integritas Islam. Logika mereka adalah bahwa Islam tidak akan jatuh oleh kegagalan satu atau dua buah hadis, sebab Islam akan dijaga oleh Quran. Namun pada sisi lain, orang-orang Muslim itu tidaklah merasa malu untuk mengutip hadis-hadis lainnya demi memperkuat argumentasi mereka, tak peduli seberapa tidak otentiknya hadis-hadis tersebut.

Mumin Salih

Artikel pertama kali dipublikasikan pada bulan Juni, 2009

 

[Catatan Editor: Studi ini mempresentasikan alasan-alasan yang kuat untuk mendukung klaim bahwa “Hadis” pada kenyataannya adalah lebih dapat dipercayai dibandingkan Quran itu sendiri. Alasan dibelakang klaim ini ada pada cara bagaimana hadis-hadis dikumpulkan jika dibanding dengan bagaimana sura-sura Quran dikumpulkan dan disimpan. Detil-detil ada di bawah ini.]

Quran dianggap sebagai tulang punggung Islam meskipun bagian terbesar dari agama ini dibentuk dari sunnah, atau lewat tradisi-tradisi Muhammad, yang didasarkan pada hadis-hadis atau ucapan-ucapannya, meskipun sunnah sendiri dianggap hanya kedua terpenting dibandingkan Quran. Mempraktikkan Islam merupakan hal yang mustahil tanpa sunnah, sebab Quran tidak menjelaskan apapun tentang ritual-ritual Islam atau syariah, dan memberi petunjuk pada orang-orang Muslim untuk mengambil contoh-contoh yang diberikan oleh Muhammad, yang mana seluruh contoh-contoh tersebut berasal dari hadis-hadisnya (Q.59:7).

Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada RasulNya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, untuk Rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya.

Kita menjadi sangat frustrasi ketika berdebat dengan orang-orang Muslim ‘intelektual’, karena biasanya mereka dengan cepat menjaga jarak dari setiap hadis yang tampaknya berimplikasi kepada agama mereka, tak peduli seotentik apapun hadis-hadis tersebut.

Menyangkali sebuah hadis adalah sebuah taktik bertahan yang mudah dilakukan oleh para apologet Muslim, dalam usaha mereka untuk mempertahankan integritas Islam. Logika mereka adalah bahwa Islam tidak akan jatuh oleh kegagalan satu atau dua buah hadis, sebab Islam akan dijaga oleh Quran. Namun pada sisi lain, orang-orang Muslim itu tidaklah merasa malu untuk mengutip hadis-hadis lainnya demi memperkuat argumentasi mereka, tak peduli seberapa tidak otentiknya hadis-hadis tersebut. Namun demikian, kebanyakan orang-orang Muslim awam tetap sebagai orang beriman yang berpegang teguh pada Quran dan hadis, yang mereka anggap sebagai sumber iman mereka yang saling melengkapi. Muslim main stream menganggap mereka yang menolak hadis sebagai orang kafir, yang juga nantinya pasti akan menolak Quran.

Dibalik alasan yang dinyatakan mengapa seorang Muslim menolak hadis, juga terdapat alasan lain yang tidak dinyatakan, tetapi inilah alasan yang sebenarnya. Hadis-hadis datang dengan bahasa yang detil dan dengan sejumlah kisah yang saling mendukung satu sama lain, sehingga hampir-hampir tidak ada ruang untuk melakukan permainan kata atau manipulasi arti. Pada sisi lain, Quran datang dengan sebuah format yang seringkali saling berkontradiksi dan tidak jelas, sehingga ada lebih banyak ruang untuk memelintirkan bahasa dan arti dari kata-kata yang ada di dalamnya. Quran dibungkus dengan sebuah lapisan yang tebal dan sejumlah Muslim menggunakan kurangnya penjelasan, untuk melemparkan argumen dan mengklaim bahwa mereka melihat gambar yang berbeda dengan yang dilihat oleh orang lain.

Seotentik apa hadis itu?

Ada perbedaan koleksi-koleksi hadis yang dianggap sebagai yang paling otentik oleh orang-orang Muslim; koleksi yang paling terkenal adalah Sahih al Bukhari dan Sahih Muslim. Koleksi-koleksi lainnya yang juga cukup terkenal diantaranya: Al Nissaey, Al Tirmithy, Ibn Dauod dan Ibn Maja. Bersama-sama, ke-6 koleksi ini disebut sebagai Sahih Sitta (Keenam Yang Otentik).

‘Ilmu hadis’ atau ‘Ilmul Hadis’ adalah bidang yang sangat terkenal dan prestisius di seluruh universitas-universitas Islam. Ilmu ini mempelajari bagaimana para sarjana itu mengumpulkan koleksi-koleksi mereka dan bagaimana mereka melakukan perjalanan ke dunia Islam untuk menyelesaikan obyektif mereka. Metodologi yang mereka pakai, jika kita melihat pada lamanya waktu yang mereka habiskan, benar-benar mencengangkan. Mereka mempelajari setiap hadis secara detil, teks-teksnya dan rangkaiannya dalam periwayatan, dan mengklasifikasikannya ke dalam tingkatan-tingkatan sesuai dengan otentisitas mereka. Bahkan berdasarkan standard hari ini, keilmuan dan dedikasi mereka terhadap obyektifitas sungguh mengagumkan. Kebanyakan dari dua ratus ribu atau sekitar itu hadis-hadis yang masuk dalam penilaian mereka, ditolak, dan hanya beberapa ribu yang dianggap sebagai hadis-hadis yang sahih (benar). Obyektifitas mereka berarti bahwa banyak dari ‘hadis-hadis yang terlihat bagus’ harus ditolak, sementara banyak dari hadis-hadis yang tampaknya tidak terlalu bagus, harus dimasukkan. Jika orang-orang Muslim boleh berbangga tentang apapun juga, salah satunya adalah dalam hal pendekatan akademis obyektif yang diadopsi oleh para sarjana yang mengumpulkan hadis-hadis ini.

Para sarjana Muslim pada masa awal, seperti Al Bukhari dan Muslim, berbeda dengan orang-orang kebanyakan, mereka adalah orang-orang yang sangat terdidik dan cerdas. Pendeknya, mereka itu adalah orang-orang jenius pada masa mereka hidup. Betapa lucunya sebagian orang Muslim pada masa kini, dengan pengetahuan dan pendidikan yang patut dipertanyakan, berani-beraninya meniadakan hasil karya para sarjana itu dan menganggapnya sebagai kesalahan, hanya karena mereka melihat hasil karya mereka tidak sesuai dengan opini-opini mereka yang bias.

 

Seotentik apakah Quran itu?

Q.2:106. Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. Tidakkah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?

Ayat di atas adalah sebuah jawaban singkat bagi mereka yang mengklaim bahwa Quran adalah kitab yang dipelihara oleh Allah. Ayat ini adalah sebuah pengakuan bahwa Quran berisi kontradiksi (Muslim menyebutnya ayat-ayat yang dibatalkan), dan juga ayat-ayat yang sepenuhnya telah dilupakan! Tetapi jangan khawatir, Allah sanggup membawa ayat-ayat yang mirip bahkan yang lebih baik!

Berbeda dengan hadis, pengumpulan Quran bermotivasi politik tanpa adanya metodologi atau standard pengecekan yang tinggi sebagaimana yang menjadi karakteristik dari pengumpulan hadis. Kelemahan dari Quran terletak pada fakta bahwa apabila ada satu saja kesalahan, katakanlah sebuah kata atau huruf yang salah penempatan, maka ini merupakan sebuah bukti yang sangat kuat untuk mengatakan bahwa seluruh kitab itu adalah sebuah kebohongan.

Dalam Islam adalah penting untuk meyakini bahwa Quran merupakan perkataan-perkataan yang dijaga langsung oleh Allah. Karena itu, ia mempunyai otentisitas yang tidak lagi bisa dipertanyakan. Sesungguhnya orang-orang Muslim tidak boleh mempertanyakan otentisitas Quran, dan inilah yang menjadi permasalahan mereka. Orang Muslim percaya bahwa alasan dari eksistensi Islam adalah karena kitab-kitab sebelumnya telah dipalsukan. Dengan kata lain, orang Muslim percaya bahwa Allah telah mewahyukan Quran dengan determinasi untuk menjaganya tetap sempurna. Dengan hal itu dalam pikiran, seseorang akan berharap bahwa Allah akan menggunakan ukuran yang tidak biasa untuk menjaga apa yang dianggap sebagai dokumen paling penting bagi umat manusia. Tetapi ternyata Ia tidak melakukannya! Sebagai kontras, ada banyak sekali situasi dan kondisi yang tercipta yang menyebabkan Quran menjadi hilang, dan inilah yang sebenarnya terjadi.

1)        Quran diwahyukan kepada Muhammad yang, sebagaimana dipercaya oleh orang Muslim, seorang yang buta huruf dan karena itu ia tidak sanggup memverifikasi akurasi dari tulisan-tulisan yang dituliskan baginya oleh sejumlah relawan. Mempercayai Muhammad dengan Quran sama halnya seperti mempercayai seorang yang buta huruf untuk mengedit sebuah surat kabar. Dengan sebuah dokumen yang sama pentingnya seperti Quran, tidaklah cukup untuk berasumsi bahwa para penulis adalah orang-orang yang jujur dan patut dipercayai, khususnya salah seorang dari mereka yaitu Abdulla Ibn Abi Al Sarh, yang mengakui bahwa ia secara regular membuat perubahan-perubahan pada teks-teks Quran tanpa Muhammad mengetahui atau memperhatikannya!

2)        Meskipun orang-orang Muslim mengklaim bahwa Quran secara lengkap telah ditulis pada masa Muhammad masih hidup, tetapi tidak ada bukti untuk mendukung klaim tersebut. Adalah logis untuk mempercayai bahwa Quran belum ditulis dalam 13 tahun pertama Islam ketika Muhammad masih tinggal di Mekkah, karena ia sama sekali belum mempunyai sarana untuk melakukannya. Orang akan menganggap bahwa menuliskan Quran adalah prioritas pertama Muhammad setelah ia mengambil alih kekuasaan di Medina, tetapi ia terlalu sibuk dengan urusan perang untuk memikirkan hal itu.

Setelah mendirikan negara Islamnya di Medina, Muhammad bisa saja memerintahkan sebuah pencatatan formal, membuat indeks dan menyimpan dengan baik dokumen-dokumen Islam yang paling penting. Bahkan bisa saja ia memeteraikannya, sebab ia punya cap meterai. Tetapi Muhammad tidak melakukan hal itu, yang mengindikasikan bahwa ia bahwa ia tidak pernah memperhatikan hal itu secara serius. Kenyataannya, ada beberapa alasan untuk mempercayai bahwa Muhammad sesungguhnya mendapatkan manfaat dari kondisi Quran yang kacau. Sebuah Quran yang belum terdokumentasi akan memberikan kebebasan pada Muhammad untuk merubah pikirannya atau mengkontradiksikan dirinya sendiri dan meloloskan diri dengan hal tersebut, karena ayat-ayat yang datang terlebih dulu dilupakan atau disingkirkan dari ingatan. Mencatat ayat-ayat yang ‘diwahyukan’ terjadi dengan cara yang biasa, yang dilakukan oleh siapapun yang siap dari antara para relawan penulis. Sejumlah ayat ditulis oleh lebih dari seorang penulis, sehingga menyebabkan kebingungan, sementara yang lain malahan sama sekali  tidak punya kesempatan untuk dituliskan, sehingga menyebabkan lebih banyak lagi kebingungan.

 

3.        Quran diwahyukan pada abad ke-7 dalam bahasa Arab, sebuah bahasa yang pada waktu itu belum merupakan tulisan yang sudah berkembang. Banyak kata-kata Arab dengan arti yang berbeda bisa ditemukan dalam tulisan yang sama. Orang-orang Arab mengatasi problem ini dengan menambahkan sejumlah titik-titik yang berbeda pada huruf-huruf yang mempunyai bentuk yang sama, tetapi solusi ini sendiri baru muncul bertahun-tahun setelah kematian Muhammad. Sebagai contoh, kata Arab ‘harb’, yang artinya perang, muncul dalam bentuk yang sama seperti selusin kata-kata lainnya dengan arti yang sepenuhnya berbeda, seperti kata-kata berikut ini:

حرب.خرب.حزب.جرب.حزن.جزت.حزت.خزن

(Kata-kata di atas artinya: perang, kerusakan, pesta, mencobai, kesedihan, dihadiahi, menyebabkan kesakitan, disimpan)

Jika anda melepaskan huruf-huruf dari titik-titik yang melekat padanya, maka semua kata akan terlihat sama persis, dan karena itu dibutuhkan kejelian dan kecerdasan para pembaca untuk menentukan kata mana yang dimaksud dalam sebuah tulisan.

Idealnya, untuk menjaga sebuah Quran dengan cara yang lebih baik, seharusnya Allah telah mendidik Muhammad dan menciptakan tanda-tanda dots (titik-titik) sebelum mewahyukan Quran.

Orang-orang Arab mengklaim bahwa bahasa mereka adalah sebuah bahasa yang superior, yang dipilih oleh Allah sebagai alatnya untuk berkomunikasi kepada umatnya. Orang-orang Muslim lainnya setuju dengan klaim tersebut dan memuji bahasa ini sebagai bahasa yang paling indah, meskipun mereka sendiri tidak berbicara dalam bahasa ini. Kebenarannya adalah bahwa bahasa Arab adalah sebuah bahasa yang rumit dan sulit untuk dikembangkan, khususnya karena sekarang bahasa ini melekat pada Quran.

Bahkan pada masa kini, dan setelah ‘penemuan’ titik-titik, membaca sebuah teks Arab masih tetap merupakan sebuah pekerjaan menebak. Buku-buku Arab dan surat kabar-surat kabar dicetak tanpa menyertakan tanda-tanda diakritikal untuk mengurangi ketidakrapian di sekitar kata-kata. Tanda-tanda diakritikan ditemukan selama satu abad lamanya setelah penemuan titik-titik (dots). Tanpa tanda diakritikal, kata keempat pada contoh yang ada di atas, Jarab, bisa dibaca sebagai berikut: Jarraba=telah mencoba, Jurriba= telah dicoba, Jarab=wabah, Jurub= menderita wabah!

a. Teknologi penulisan dalam bahasa Arab adalah sangat primitif dimana bahan yang dipakai untuk menulis adalah bahan yang bermutu rendah dan mudah rusak, seperti daun palem dan tulang belulang.

Meskipun kita hanya membaca sejarah Islam dari sumber-sumber Islam yang sangat bias, namun seringkali kita tersandung dengan sejumlah fakta-fakta historis seperti berikut ini:

b. Ibn Massoud sangat dikenal di antara para sahabat nabi sebagai orang yang paling memiliki pengetahuan mengenai Quran; ada klaim bahwa ia sendiri menyimpan salinan Quran yang lengkap. Tetapi kopian Quran yang dimiliki oleh Ibn Massoud sangatlah berbeda dengan kopian resmi Quran yang dibuat oleh Uthman, yang sesungguhnya ditolak oleh Ibn Massoud sendiri.

c. Beberapa ayat telah hilang, bahkan ayat-ayat yang disimpan oleh Muhammad di rumahnya sendiri! Aisha mengakui bahwa biasanya ia menyimpan ayat-ayat perajaman di bawah tempat tidurnya hingga suatu waktu seekor kambing memakannya.

d. Al Hajaj Ibn Youssef Al Thakafi, penguasa Irak yang lalim pada masa dinasti Umayyad, melakukan banyak perubahan pada Quran yang resmi, bertahun-tahun setelah kematian Uthman.

e. Korupsi politik, perebutan kekuasaan dan instabilitas merupakan karakteristik dari periode pemerintahan Uthman. Dalam iklim politik yang sangat tidak sehat seperti inilah ketika Uthman memerintahkan untuk dilakukan penyusunan Quran.

f. Uthman mengirimkan 4 kopian Quran yang resmi ke berbagai wilayah yang telah menjadi negara Islam, dan hanya menyimpan satu kopian di Medina. Tak satupun dari kopian itu yang masih ada/selamat. Tak ada bukti bahwa setiap kopian tua Quran yang kita miliki hari ini, berasal dari masa Uthman. Manuskrip yang paling tua, yaitu naskah Sanaa/Yaman, berasal dari masa berabad-abad setelah kematian Uthman dan berisi perbedaan-perbedaan yang signifikan dari kopian Quran yang kita kenal saat ini.

g. Banyak sarjana Muslim yang menyadari kelemahan dari argumen bahwa Quran sudah didokumentasikan pada masa Muhammad masih hidup. Mereka mengklaim bahwa Quran disimpan terutama di dada orang-orang Muslim, sementara dokumentasi yang tertulis hanyalah sebuah cadangan!  Sayangnya, bagi mereka mengucapkan klaim seperti itu sama seperti sedang menggali kuburan untuk Quran, sebab alasan utama yang ada dibalik menuliskan sebuah kopian Quran yang resmi, dan membakar selebihnya, adalah untuk menghentikan perdebatan dan ketidaksetujuan di antara orang-orang Muslim. Ayat-ayat Quran yang disimpan di dada orang-orang Muslim adalah sangat berbeda, yang olehnya mereka saling menuduh sesama Muslim mereka sebagai kufr (tidak beriman)!

f. Barangkali Quran adalah dokumen yang paling tidak otentik dalam Islam oleh karena begitu banyak perdebatan dan ketidaksetujuan di antara orang-orang Muslim awal mengenai kitab yang satu ini. Orang-orang Muslim pada masa awal saling tidak setuju mengenai mana bagian Quran yang diwahyukan dan mana yang tidak. Kopian Quran dari Ibn Massoud berisi dua pasal lebih sedikit dibandingkan kopian Quran dari Uthman, sebab ia tidak percaya bahwa dua pasal terakhir Quran merupakan bagian dari pasal-pasal Quran.

Yang lainnya melaporkan bahwa sura Tauba (pasal sembilan, yang berisi 129 ayat), biasanya sama panjangnya dengan sura Bakara (pasal dua, yang berisi 286 ayat) sebelum ayat-ayat itu hilang. Abdullah ibn Umar dilaporkan mengatakan,”Biarlah tak ada seorang pun diantara kamu yang berkata,”Aku telah memperoleh seluruh Quran.” Bagaimana ia bisa mengetahui seluruhnya? Kebanyakan dari Quran telah hilang.” Sebaliknya, biarlah ia berkata, Aku telah mendapatkan apa yang tidak terhilang (sura-sura yang berhasil diselamatkan). Banyaknya pengulangan dan kontradiksi yang sedemikian besar, boleh jadi merupakan indikasi dari tingkatan duplikasi dan manipulasi terhadap teks yang asli.

Berdasarkan Quran yang masih ada, hukuman atas perzinahan hanya digambarkan dalam Quran 24:2 (dicambuk sebanyak 100 kali), dan Quran 4:15 (dikurung dalam rumah), sementara dalam Quran sendiri tidak ada disebut mengenai dirajam dengan batu. Namun demikian, orang-orang Muslim selama 1400 tahun telah menyetujui bahwa hukuman untuk perzinahan adalah dirajam dengan batu, sebab ayat yang membatalkan kedua ayat di atas, ada di sana dan tetap efektif dengan perintah hukman meskipun kata-kata itu telah dibatalkan dengan kawlan. Kita bisa menambahkan logika ini dengan sejumlah pembenaran-pembenaran lainnya yang dipakai oleh orang-orang Muslim untuk memahami Quran. Namun demikian, kita memiliki hak untuk bertanya: Mengapa Allah harus tetap memelihara ayat-ayat yang absolut, dan menghapuskan ayat-ayat yang valid?

 

Referensi:

1. Ali Dashti, 23 years, a study of prophetic career of Mohammed.

2. Al Itqan fi ulum al Qur’an - Al Sayuti. ‘Arabic’

3. Abu Bakr al Suyuti, “al Itqan fi `ulum al Qur’an”, 1935/1354, pt 2, p. 25) ‘Arabic’

4. Ibn Maja,1944, Musnad Ahmed 25784 ‘Arabic’

5. Islam-watch.org

 

Sumber: faithfreedom.org