Orang-Orang Kristen di Timur Tengah: Kesulitan Menanggungnya

Oleh: David Gardner

 

Di sebuah alun-alun kota Nazareth, tepat di sebelah kanan Basilika Annunciation (Gereja yang menurut tradisi dianggap sebagai lokasi dimana Maria menerima kunjungan Malaikat Gabriel, yang memberitahukan bahwa ia akan mengandung dari Roh Kudus), ada sebuah ayat Quran yang memperingatkan: Siapa pun yang mencari agama lain selain Islam, maka ia tidak akan pernah diterima olehNya (Allah), dan di kehidupan yang akan datang ia akan menjadi orang-orang yang rugi.” Tetapi yang sebenarnya mengalami kerugian di sini dan saat ini, dan yang merasa paling dihantui adalah orang-orang Kristen yang jumlahnya semakin kecil, justru di tanah tempat kelahiran Kristus.

Di kota asal Yesus, dimana semuanya dimulai 2 milenium yang lalu, orang-orang Kristen merasa bahwa mereka tengah berada di bawah pengepungan. Ketakutan ini tidak terbatas hanya di Nazareth atau di Tanah Suci. Di seluruh dunia Arab, orang-orang Kristen bertanya, apakah mereka adalah spesies yang berbahaya: diancam oleh orang-orang Islam radikal; ditekan oleh kesempatan-kesempatan yang terbatas di tanah kelahiran mereka sendiri, sehingga banyak dari mereka akhirnya mencari hidup yang baru di negara-negara lain. Oleh para predator asing, mereka juga dituduh terlibat dalam rencana jahat, dan sekarang terancam oleh gelombang revolusi yang merobek-robek wilayah itu. Banyak orang menjadi takut, bahwa situasi yang terjadi di Timur Tengah saat ini bisa memunculkan konflik sektarian.

Dua kali pembunuhan besar-besaran yang terjadi di Gereja Our Lady of Salvation di Baghdad pada Oktober tahun lalu, dan di Gereja Koptik yang ada di Alexandria pada saat perayaan Tahun Baru, semakin memperbesar perasaan takut di kalangan orang-orang Kristen, bahwa sedang terjadi penganiayaan modern dengan tujuan mengosongkan tanah Arab dari orang-orang Kristen. Saat ini, jumlah orang Kristen di negara-negara Timur Tengah paling hanya tinggal 15 juta dibandingkan orang-orang Muslim yang berjumlah 300 juta.

“Kami saat ini ada dalam era baru penganiayaan Kristen,” kata Rifa’t Bader, seorang imam Katolik Yordania, yang jemaatnya saat ini umumnya terdiri dari para pengungsi yang selamat dari kekejaman para jihadis di Irak. “Kami adalah korban dari hal-hal yang kami tidak bertanggungjawab atas hal itu, apakah pendudukan Israel (terhadap tanah Palestina) atau kebijakan Amerika di Timur Tengah, khususnya [pendudukan] Irak.”

Irak adalah kasus yang terpisah. Setelah invasi Anglo-Amerika pada tahun 2003, orang-orang Kristen Assyrian yang merupakan penduduk asli, kebanyakan adalah orang-orang Chaldean, harus menanggung penganiayaan sehingga banyak dari mereka akhirnya meninggalkan Irak, sehingga menyebabkan jumlah mereka berkurang dari sebelumnya 1 juta orang menjadi hanya 400 ribu orang saat ini. Seorang pengungsi di Amman, yaitu profesor kimia berusia 66 tahun, bernama Abu Sinan mengatakan: ”Di negara saya, kami sudah ada dan tinggal bersama-sama dengan orang-orang Muslim selama kurun waktu 1400 tahun. Tetapi sekarang kami mengalami disintegrasi hanya dalam kurun waktu 5 tahun.” Bagi orang-orang Kristen Arab di sekeliling wilayah itu, ini adalah sebuah tragedi.

Riah Abu el-Assal, seorang Palestina dan mantan bishop Anglikan dari Yerusalem, mengatakan satu bulan sebelum invasi tersebut, bahwa ia secara personal sudah memperingatkan Tony Blair, perdana menteri Inggris pada saat itu, “Engkau bertanggungjawab mengosongkan Irak, negeri Abraham, dari orang-orang Kristen.” Setelah hampir 2000 tahun, orang-orang Kristen Irak sekarang berpotensi mengalami kepunahan. Beberapa dari wali gereja mereka sendiri bahkan menasehatkan mereka untuk pergi meninggalkan negaranya.

Maher, 24 tahun, biasanya menjaga gereja yang ada di al-Jadriya Baghdad dari serangan-serangan kaum militan Islam. Ia mengatakan bahwa saat ini hanya ada lima orang keluarga Kristen yang masih tinggal. Sekarang ia tengah menunggu di Amman untuk bergabung dengan orang-orang yang selamat dari antara keluarganya, yaitu mereka yang saat ini sudah berada di Amerika Serikat. “Sayangnya pilihan saya menjadi sangat sederhana: apakah tetap tinggal dan bisa terus hidup atau tidak,” katanya.

Tetapi jika orang-orang Kristen Irak memahami pewahyuan, bahkan saudara seiman mereka di negara-negara lain juga mulai merasakan hal yang sama di negara-negara nenek moyang mereka sendiri – meskipun banyak orang yang mendorong bangkitnya visi yang lebih segar yaitu kebebasan dan demokrasi.

Di Mesir, revolusi anti sektarian di alun-alun Tahrir, diikuti dengan kerusuhan antara Kristen Koptik (jumlahnya 10 persen dari orang-orang Mesir) dengan orang-orang Muslim, menimbulkan kecurigaan bahwa elemen-elemen dari rejim Hosni Mubarak yang sudah ditumbangkan, tengah mencoba untuk menimbulkan friksi di antara kedua komunitas.

Di Yordania, minoritas Kristen bisa berkembang dengan baik di bawah sayap perlindungan monarki Hashemit. Orang Kristen Yordania menguasai atau menjalankan sekitar sepertiga dari ekonomi negara tersebut, meskipun populasi mereka kurang dari 3 persen. Tetapi semakin maraknya korupsi dan kesulitan ekonomi di negara ini, bisa mengancam posisi mereka, dan juga posisi Raja Abdullah.

Di Suriah, dimana jumlah orang Kristen adalah 10 persen dari populasi, mereka merupakan sekutu dekat rejim Bashar al-Assad. Suriah sendiri diperintah oleh minoritas Alawit melalui partai Ba’ath. “Ketakutan orang Kristen Suriah adalah, jika rejim ini jatuh ke tangan mayoritas Sunni, maka mereka pun akan diperlakukan sama dengan orang-orang Alawit,” demikian kata salah seorang pengamat Suriah yang tinggal di Beirut.

Rejim Assad sudah melaksanakan toleransi keagamaan. Orang-orang Suriah, saat ini melihat setan-setan sektarian yang ada di Irak telah lepas dari kandangnya, dan sebelumnya juga sudah terjadi di Lebanon. Sebab itu mereka khawatir, jika rejim ini tumbang akan terjadi konflik sektarian sebagaimana yang pernah terjadi di Balkan. Raymond Moussalli, seorang warga Suriah dan imam Chaldean di Amman, bernyanyi dengan suara berbisik, sebuah nyanyian dalam bahasa Aramaik – bahasa yang sama yang dipakai oleh Kristus dan masih dipakai oleh sejumlah kecil orang-orang Suriah. Ia mengatakan, ”Jika sektarianisme masuk ke dalam Suriah, maka seluruh wilayah ini akan meledak, khususnya di Yordania dan Lebanon.”

Orang-orang Kristen yang sebelumnya memerintah di Lebanon, yaitu melalui sekte Maronit, mengalami kekalahan lewat perang sipil tahun 1975-1990, dan sekarang mereka terbagi atas faksi-faksi yang beraliansi dengan Muslim Syiah yang dipimpin oleh Hezbollah, dan sisa-sisa partai tua Phalangis, yang memilih untuk beraliansi dengan kaum Sunni. Perang dan imigrasi membuat jumlah mereka berkurang menjadi hanya sekitar sepertiga dari populasi Lebanon.

Namun, orang Lebanon dari semua sekte, banyak dari mereka yang berhasil ketika tinggal di luar negeri, khususnya dalam bidang finansial dan industri-industri pelayanan. Pada saat yang sama, mereka pun masih tetap punya ikatan dengan tempat kediaman mereka. Lebih daripada itu, bagi banyak orang Arab, orang-orang Kristen sanggup menawarkan sebuah jendela budaya dunia yang menyenangkan, demikian kata Kamal Salibi, seorang sejarawan Lebanon. “Teluk adalah sebuah koloni Levantin. Orang-orang Levantin tidak menjalankan kekuasaan politik, tetapi mereka bisa mendapatkan uang dalam jumlah besar. Mereka umumnya disukai oleh semua orang,” ia menambahkan. “Orang-orang Saudi, lebih suka bekerjasama dengan orang-orang Lebanon, dan bukan hanya itu, khususnya dengan orang Kristen Lebanon.”

Di Israel dan wilayah yang dikuasai oleh Palestina, tekanan untuk bermigrasi juga cukup kuat, baik bagi orang Muslim maupun Kristen. Tetapi bagi orang-orang Kristen, sering karena mereka berpendidikan lebih baik, sebagaimana yang terlihat dari pasport mereka, lebih mudah untuk pergi meninggalkan Palestina. Fenomena ini sudah mulai sejak era Ottoman. Ketika Israel menguasai wilayah Timur Arab Palestina pada perang Arab-Israel tahun 1967, masih ada 28.000 orang Kristen Palestina di wilayah ini. Sekarang hanya tinggal 5000 orang dan jumlahnya terus menurun. Bishop Abu el-Assal memperlihatkan pada bagian Latin Nazareth, yang secara tradisional merupakan tempat dimana berdiri gereja-gereja Roma Katolik, Yunani Ortodoks dan Maronit. “Saya ragu jika masih ada lima persen orang Kristen di wilayah itu,” katanya.

Kepemimpinannya sebagai bishop Anglikan ditetapkan oleh Raja Prusia pada tahun 1841. Lama sebelum itu, orang-orang Kristen berada di barisan depan ketika orang-orang Arab tengah berusaha keras untuk menguasai Yerusalem. Saat berada dalam tekanan dari Bizantium, mereka kemudian membantu Kalifah Umar untuk menaklukkan Yerusalem pada tahun 638 dan kemudian Sultan Saladin menguasai kembali kota suci itu dari tangan pejuang perang salib (Crusader) di tahun 1187. Raouf Abu Jaber, seorang sejarawan yang belajar di Oxford, dan yang memimpin dewan Ortodoks Yunani untuk Yordania dan Palestina mengatakan: “Saya mengingatkan orang-orang Muslim, bahwa mereka tidak akan berhasil mengambil alih tanah ini jika bukan karena dukungan dari orang-orang Kristen asli, yaitu orang-orang Arab.”

Orang-orang Kristen – dan juga orang Yahudi – membantu perkembangan peradaban Islam dengan memprogandakannya ke dalam legasi Helenistik. Di tengah-tengah kemerosotan yang tengah mereka alami, justru merekalah yang memelihara warisan itu dan juga bahasa Arab. Orang Kristenlah yang mendorong “kebangkitan Arab” pada abad ke 19 dan 20, bukan hanya lewat politik Arab tetapi juga melalui pendidikan, penerbitan, pengobatan dan ilmu pengetahuan.

Sikap terbuka pada dunia dan menjadi penentang orang-orang Ottoman Turki menjadikan orang-orang Kristen Arab memiliki sebuah logika yang tepat. “Arabisme diluncurkan oleh orang-orang Kristen, sebagian merupakan bentuk pertahanan diri menghadapi Ottoman Turki,” kata Fadi Malha, seorang pengacara Maronit. “Jelas hal itu tidak dilakukan oleh Sunni Islam, karena itu adalah agama dari kekaisaran Ottoman.”

Nasionalisme Pan-Arab menjadi alibi dari sebuah jaringan kerja sama orang-orang kuat Sunni, yang secara umum didukung oleh barat. Ia berubah menjadi sebuah ideologi yang liar dan mengarah pada pemerintahan otokratis – yang sesungguhnya ditolak oleh orang-orang Kristen. “Orang-orang Kristen menjadi terlalu elitis, terkait dengan status quo dan terperangkap dalam status mereka sebagai minoritas,” kata Philip Madanat, seorang aktifis evangelikal di Yordania. “Mereka tidak menjalankan reformasi meskipun mereka bisa melakukannya. Mereka sedang kehilangan keunggulan mereka pada masa lampau. Mereka mendukung keberagaman tetapi terpaut dengan rejim-rejim ini. Mereka siap pergi ketika situasi menjadi buruk, sementara tanggungjawab mereka adalah untuk menjadi pelaku utama perubahan sosial.”

Pangeran Hasan bin Talal, saudara Raja Hussein dari Yordania yang sudah meninggal, adalah seorang penasehat dialog antar agama yang bekerja cukup lama. Ia mengatakan bahwa orang-orang Kristen “harus mendorong pemisahan antara agama dengan negara demi kepentingan nasionalisme Arab”. Namun demikian, orang-orang Kristen di Timur harus melakukan lebih banyak lagi untuk mengembangkan garis cerita mereka sendiri.

“Ancamannya bukan hanya untuk orang Kristen tetapi juga Islam, dan kepada agama secara keseluruhan. Satu-satunya cara untuk menghentikan ekstrimisme adalah dengan mengembangkan otoritas moral,” demikian argumennya. Di era post-Ottoman, sebagian masalah terjadi karena pemahaman mengenai negara, bangsa dan otoritas, semuanya campur aduk, disamping karena keterkaitan orang Muslim dengan Ummah, yaitu “bangsa” Muslim sedunia, yang bahkan memberikan seorang Muslim Indonesia – hak yang lebih tinggi – dibandingkan dengan seorang Arab yang beragama Kristen.

Sekarang, bisakah semuanya itu dibentuk kembali dalam sebuah kebangkitan Arab yang baru? Sejumlah orang Kristen berpikir hal itu bisa dilakukan. Tareq Mitri, seorang menteri kabinet Lebanon yang sebelumnya bertugas di Dewan Gereja-Gereja Sedunia, mengatakan bahwa kebangkitan kaum Islamis melalui Revolusi Islam Iran pada tahun 1979 “sebagian menjelaskan mengapa banyak orang Kristen mendukung rejim-rejim yang masih tersisa” – khususnya ketika para pemimpin Arab menipu penduduknya dan juga masyarakat Barat, sehingga mereka percaya bahwa satu-satunya alternatif terhadap kelaliman yang mereka lakukan adalah pemerintahan teokratis Islam. Tetapi, “dengan apa yang sedang terjadi di wilayah ini, orang melihat bahwa kaum Islamis tidaklah sedemikian berpengaruh sebagaimana mereka pada waktu yang lampau.”

Mr Madanat berargumen, “orang-orang muda [kaum revolusioner] tidak melakukan hal ini karena mereka adalah orang Kristen atau Muslim. Mereka ingin perubahan [dan] kita pun membutuhkan mercu suar itu.

Namun sejumlah orang Maronit, sampai sekarang melihatnya sebagai sebuah barometer yang akan membawa kesejahteraan bagi orang-orang Kristen di wilayah ini. Mereka lebih suka dengan kehidupan kesukuan masa lampau dibandingkan dengan kehidupan plural masa kini. Samir Franjieh, seorang intelektual kiri dari sebuah klan Maronit, melihat sebuah kesempatan. “Jika orang-orang Muslim dan Kristen mengambil bagian dalam pergulatan yang umum demi nilai-nilai yang sama, maka masalah ko-eksistensi bisa diatasi. Kita harus menggerakkan sebuah nahda (kebangkitan) baru di bagian dunia ini dan inilah saatnya bagi orang-orang Kristen untuk memainkan sebuah peran yang proaktif, bukan hanya sekedar bertahan, dalam sebuah Arabisme baru, yaitu yang demokratik dan plural, bukannya yang bersifat nasionalis.

Bahkan Abu Sinan, profesor kimia yang mengungsi dari Irak, mulai berpikir lebih jauh dari sekedar masa depannya. “Ada lebih banyak harapan setelah revolusi shebab (orang-orang muda) ini. Mereka masih muda dan mempunyai pemikiran terbuka, dan sedang menciptakan masa depan mereka dengan tangan mereka sendiri. Kesalahan kita adalah mempermuliakan para jenderal dan bukannya para ilmuwan.”

Namun demikian, yang masih menghantui Mediteranian Timur adalah semakin hilangnya orang-orang Kristen di wilayah ini, bukan hanya karena itu akan mencabut akar warisan yang sudah berusia 2000 tahun, tetapi karena juga bisa menghanguskan jembatan antara timur dan barat.

“Keindahan tanah ini adalah bahwa ia merupakan sebuah mozaik,” kata Bishop Abu el-Assal di Nazareth. “Jika orang-orang Kristen pergi, hal apa lagi yang masih tinggal? Timur Tengah merepresentasikan percampuran peradaban dari ketiga iman Abraham. Jika akhirnya mozaik ini hilang, ia akan menjadi sebuah Terra Santa, sebuah museum.”

Sumber: buktidansaksi.com