Darah Mereka Menjerit

Roland Clarke

 

Banyak orang di seluruh dunia berjuang untuk memahami kematian yang mengerikan dari sepuluh relawan Kristen di Afghanistan di tangan orang-orang Muslim. bagaimana mungkin orang-orang yang bertakwa kepada Tuhan (kelompok Taliban) dapat membunuh para relawan yang bekerja melayani orang-orang Afghan sesama mereka yang berkekurangan, yang teramat sangat miskin sehingga tidak dapat membayar jasa pelayanan kesehatan? 

Apakah mereka tidak merasa malu? Tidakkah mereka tahu bahwa para pemimpin dunia sedang mengupayakan terciptanya sikap saling menghormati dan toleransi di antara berbagai bangsa, kebudayaan dan agama-agama dunia? Kenyataan bahwa nilai-nilai ini dihormati di seluruh dunia, menjadikan pembunuhan ini semakin menjijikkan. Dengan kata lain, hal itu mempermalukan Islam. 

Tahun demi tahun kita senantiasa melihat dan mendengar berita-berita mengenai (yang disebut sebagai) orang-orang Muslim (?) yang membunuh orang-orang sipil yang tidak bersalah dan para pekerja kemanusiaan (bahkan yang juga adalah sesamanya orang Muslim). penting diperhatikan bahwa PBB menetapkan tanggal 19 Agustus 2010 sebagai Hari Kemanusiaan Sedunia. Untuk menghormatinya, berita utama CNN melaporkan bagaimana para relawan di seluruh dunia telah diserang dan dibunuh dalam jumlah yang semakin meningkat, yaitu peningkatan sebanyak 60% dari tahun 2005 hingga 2009. (lihat: killed in unprecedented numbers).   

Kita dapat memperkirakan Taliban itu sangat keras hati, sehingga mereka tidak peduli akan penghinaan yang akan menimpa Islam – lagipula pendapat apapun yang dimiliki oleh orang luar nampaknya tidak berarti apa-apa bagi mereka. Namun demikian, beberapa tahun yang lalu ketika kartun-kartun Muhammad mengakibatkan terjadinya pertumpahan darah, ulama senior Mohammed Usman dari Dewan Ulama di Kabul Afghanistan, mengecam ekses-ekses berdarah ini dengan mengatakan, “para perusuh ini mempermalukan nama Islam”. Sesungguhnya, keprihatinan semacam ini telah menjadi hal yang membangkitkan kemarahan orang Muslim dimanapun. 

Orang-orang yang melakukan kejahatan yang keji itu semakin dikecam oleh orang-orang Muslim yang cinta damai sebagai kesalahan besar dalam merepresentasikan Islam. Contoh yang penting diperhatikan adalah deklarasi mengutuk kekerasan yang ditandatangani pada 13 Agustus 2010 oleh 50 Imam Kanada. Oleh karena deklarasi ini diserukan luas di seluruh Kanada, CNN menggambarkannya dengan sangat jelas sebagai manifesto negeri itu. Tidaklah mengejutkan, jurubicara Dewan Imam Kanada (Canadian Council of Imams) mengatakan, salah satu dari dua tujuan utama dari deklarasi ini adalah adanya kebutuhan untuk memperbaiki citra Islam di depan publik. 

Pada dasarnya ada keprihatinan untuk memperbaiki citra Islam, namun kita bertanya-tanya, “Bukankah lebih bijak jika para Imam memperhatikan akar permasalahannya?” Kita dapat memahami ‘akar permasalahannya’ melalui dua cara:

1) Apakah deklarasi ini konsisten dengan nilai-nilai inti Islam sebagaimana yang diajarkan dalam Qur’an dan Hadith?

2) Siapa (atau apa) yang menginspirasi perbuatan-perbuatan jahat seperti itu? Dapatkah kita mengidentifikasi para pembuat kejahatan itu sebagai sahabat-sahabat si Jahat (yaitu Satan yang adalah musuh bebuyutan umat manusia)? 

Pertanyaan pertama telah didiskusikan dengan sangat ekstensif oleh banyak penulis lain. Tujuan artikel ini adalah untuk memberi komentar singkat terhadap pertanyaan kedua. Yesus Kristus, yang dihormati orang Muslim sebagai seorang pemimpin spiritual, memberikan sebuah petunjuk untuk menjawab pertanyaan ini ketika ia menegur para pemimpin religius Yahudi karena mereka meneladani bapa mereka si Iblis yang adalah “pembunuh manusia sejak semula” (Yohanes 8:44). Barangsiapa yang berencana membunuh orang-orang yang tidak bersalah memikul cap si Jahat. Jika para pemimpin masa kini mempunyai keberanian untuk menerapkan prinsip ini, bukankah semestinya mereka menghardik para pembunuh religius yang fanatik itu seperti yang dilakukan Yesus? 

Beberapa tahun yang lalu saya menulis sebuah artikel yang membahas tema ini. Saya mengutip beberapa pemimpin Muslim yang telah mengecam – dengan pernyataan-pernyataan yang paling keras – mereka yang disebut sebagai orang Muslim yang membunuh orang-orang yang tidak bersalah, apakah itu sesamanya orang Muslim ataupun non Muslim. Namun demikian yang terlebih penting adalah melihat pada apa yang dikatakan Kitab Suci mengenai Satan yang menarik manusia untuk bergabung dengannya dalam peperangannya melawan Tuhan. Itu diakhiri dengan menunjukkan bagaimana Satan pada akhirnya akan dikalahkan. Jika anda ingin membacanya,  artikel ini terdapat di: here

Mengapa Taliban membunuh para relawan kemanusiaan Kristen?   

Taliban dan kelompok Muslim radikal lainnya tidak menganggap orang-orang Kristen yang bekerja di antara orang Muslim sebagai orang-orang yang tidak berdosa. Taliban menganggap mereka bersalah. Walaupun mereka memberikan bantuan kemanusiaan kepada orang-orang Afghanistan, dalam analisa akhir, orang-orang Kristen ini (dipandang oleh Taliban) berusaha untuk menyebarkan ajaran Kristen. Oleh karena itu mereka bersalah karena telah membuat orang Muslim berpaling dari imannya. Maka Taliban memandang diri mereka sendiri sebagai para pelindung Ummah. Dampaknya, mereka merasa bahwa mereka melayani Tuhan dengan cara membunuh orang-orang Kristen tersebut. Namun bukankah hal ini telah dinubuatkan oleh Kristus sebelumnya?

Yesus mengingatkan bahwa beberapa pengikut-Nya akan menjadi martir oleh karena kaum fanatik yang bertakwa kepada Tuhan   

Yesus telah memperingatkan para murid-Nya sebelumnya, “Aku telah mengatakan hal-hal ini kepadamu supaya kamu jangan tersandung. Mereka akan membuat kamu terkucil dari Sinagoga, tetapi saatnya sedang tiba, bahwa setiap orang yang membunuh kamu, ia berpikir sedang mempersembahkan ibadah kepada Elohim” (Yohanes 16:1-2; Lukas 13:12-13). Perhatikan: nubuat yang terakhir ini secara spesifik disebutkan dalam konteks peristiwa-peristiwa yang akan terjadi di akhir jaman. Walau memang mengejutkan melihat bagaimana orang Muslim radikal merasa bahwa mereka sedang melayani Tuhan dengan membunuhi para relawan kemanusiaan Kristen, mestinya ini tidak mengagetkan kita: Kristus telah memperingatkan kita sebelumnya akan hal ini. 

Kemartiran adalah tema yang penting dari Kitab Wahyu – yaitu kitab yang terutama berbicara mengenai peristiwa-peristiwa di akhir jaman. Kita membaca dalam pasal 6 ayat 9 dan 10: “Dan ketika Dia membuka meterai yang kelima, aku melihat di bawah mezbah jiwa-jiwa mereka yang telah dibunuh berkenaan dengan firman Elohim dan berkenaan dengan kesaksian yang mereka miliki. Dan mereka berteriak dengan suara yang keras sambil berkata, ‘Sampai kapan, ya Tuhan yang kudus dan benar, Engkau tidak menghakimi dan membalaskan darah kami terhadap mereka yang tinggal di bumi?’” (Bandingkan Wahyu 18:20-24)

Menjerit untuk mendapatkan kebebasan   

Jika darah Habel menjerit, demikian pula darah para martir akhir jaman. Saat kita menyimpulkan artikel ini dengan mengingat ke-10 orang yang baru-baru ini menjadi martir di Afghanistan, marilah kita merenungkan apa arti kebebasan bagi mereka. Seperti ada tertulis, Tuhan memanggil mereka untuk “hidup dalam kemerdekaan ... tetapi janganlah menggunakan kemerdekaanmu itu untuk memuaskan sifatmu yang berdosa. Melainkan gunakanlah kemerdekaanmu untuk saling melayani dalam kasih” (Lihat Galatia 5:13). Mereka rela bekerja di wilayah yang sangat berbahaya, mereka sadar bahwa itu akan menuntut mereka untuk mengorbankan nyawa mereka. Ini juga, mereka sadari sebagai tindakan meneladani Majikan mereka, yang tidak hanya berkata, “Tidak ada orang yang mempunyai kasih yang lebih besar daripada ini, yaitu seseorang yang telah mempertaruhkan jiwanya demi sahabat-sahabatnya”, dan kemudian Ia sendiri pun mengorbankan nyawa-Nya (Yohanes 15:13). 

Kebebasan hati nurani adalah salah satu hak azasi manusia yang mendasar yang terus menerus dizalimi oleh kelompok Muslim fundamental secara global. Nampaknya isu ini mengusik nurani orang-orang Muslim terutama mereka yang tinggal di Barat. Ini terbukti dalam deklarasi baru-baru ini oleh Dewan Imam-imam Kanada  yang kini ingin menjunjung “kebebasan bagi semua umat manusia”. Pernyataan yang sangat kuat ini diserukan sebagai tanggapan terhadap kejahatan-kejahatan seperti kemartiran 10 orang relawan kemanusiaan tersebut. 

Permasalahannya – dalam lingkup yang sangat kecil – adalah bahwa sentimen-sentimen mulia ini tidak konsisten dengan ke-4 mazhab yudisial islami yang sepakat menghukum orang-orang yang berpaling dari Islam dengan hukuman mati. Belum lama ini lebih dari separuh negara-negara Muslim mempunyai hukum yang mengkriminalkan kemurtadan sebagai sebuah pelanggaran besar. Tidak hanya itu, di banyak negara dengan penduduk mayoritas Muslim, mereka yang memilih untuk meninggalkan Islam harus menghadapi ancaman-ancaman, penganiayaan atau bahkan pembunuhan – apakah itu secara resmi oleh hukum Syariah atau secara tidak resmi oleh para penjahat.

Oleh karena itu, tidaklah benar-benar jujur, bila menyimpulkan bahwa Islam pada tingkatan konstitusional atau fundamental, menyerukan kebebasan nurani. Anggaplah  para pemimpin religius Muslim Kanada yang menandatangani deklarasi baru-baru ini  memang tulus ketika mengingini adanya kebebasan seperti itu, namun ada jurang yang serius antara proklamasi yang teoritis ini dengan apa yang dialami orang Muslim pada tingkatan akar rumput. Sesungguhnya kontras yang ada sangatlah tajam sehingga banyak orang Muslim menduga deklarasi ini semata-mata hanyalah ucapan manis.   

Menarik sekali bila melihat bagaimana dilema mengenai kebebasan dan kemurtadan telah melanda Afghanistan selama dekade terakhir. Komunitas internasional telah berusaha untuk menerapkan (memberlakukan?) sebuah sistem pemerintahan yang  demokratis di Afghanistan. Dengan berlalunya waktu semakin banyak keraguan terhadap seberapa riil kemajuan yang telah dicapai. Sejujurnya, ada peningkatan berarti oleh karena pasukan sekutu nampaknya ‘membebaskan’ orang-orang Afghanistan dari pemerintahan islami yang berbentuk konservatif (radikal?) di bawah Taliban. Namun demikian, pemerintahan yang ada sekarang nampaknya telah mencapai suatu titik dimana mereka merasa bahwa mereka harus bernegosiasi dengan Taliban. 

Lebih jauh lagi, walaupun ada usaha-usaha kolektif yang besar-besaran dan dukungan-dukungan kemanusiaan dari PBB, kita hanya mempunai sedikit alasan untuk bersikap optimis. Dalam arena yudisial, sebagai contoh, tidak ada perubahan mendasar apapun berkenaan dengan bagaimana hukum Syariah diinterpretasikan. Dewasa ini banyak keputusan hukum yang menyatakan bahwa kemurtadan masih tetap mendapatkan hukuman mati. Secara tidak sengaja, ada eksepsi penting pada tahun 2006 terhadap Abdul Rahman yang menjadi Kristen dan luput dari hukuman oleh karena adanya sebuah celah hukum. Bisa dikatakan bahwa eksepsi ini belum merubah interpretasi fundamental mereka mengenai hukum Syariah.

Saya ingin mendorong anda untuk membaca artikel Apostasy and Freedom yang mulai mengeksplorasi beberapa aspek mendasar pengajaran Kristus mengenai kebebasan.  

International Journal of Religious Freedom sangat dianjurkan bagi mereka yang berminat terhadap analisa yang lebih mendalam mengenai isu-isu yang berkenaan dengan kebebasan religius. Jika anda membutuhkan bantuan saya, silahkan menghubungi saya di: here

Catatan: Semua kutipan diambil dari Alkitab Indonesian Literal Translation, terbitan Yayasan Lentera Bangsa. 


Artikel Roland Clarke