Memahami Gejolak Yang Tengah Terjadi Di Negara-Negara Islam

Oleh Rev. Bassam M. Madany

Sebuah Tinjauan dan Komentar terhadap tiga karya Bernard Lewis

 

“Identitas-Identitas Timur Tengah Yang Beragam” 1

“Bahasa Politik Islam” 2

“Apa Yang Salah?Pengaruh Barat dan Respon Dari Timur” 3

 

Tak ada manfaatnya mengatakan, dunia Arab sedang melalui kejadian-kejadian luar biasa sejak memasuki tahun 2011. Kekisruhan politik pertama kali terjadi di Tunisia, yang berakhir dengan turunnya pemerintahan diktator melalui aksi warga masyarakat yang berani di negara Afrika Timur yang sangat sekuler itu. Kemudian menjalar ke Mesir. Setelah menderita di bawah tiga rejim militer sejak 1952, akhirnya massa bangkit dan bertindak di bawah slogan, Kifaya, artinya Cukup. Ya, cukuplah Hosni Mubarak, Firaun modern yang pada saat itu tengah mempersiapkan peralihan kekuasaan kepresidenan pada anaknya yang bernama Gamal. Segera setelah Mubarak meninggalkan Kairo ke tempat yang tidak diketahui, angin perubahan dengan cepat mengarah ke sebelah Barat. Kali ini, api itu mulai membakar Jamahiriyya, nama lain untuk “republik” yang dibangun oleh manusia semi-rasional bernama Kolonel Qaddafi (Kata Arab untuk republik normalnya adalah “jumhuriyya,” yang dalam bahasa Turki ekuivalen dengan kata “cumhuriyet.”) Ketika artikel ini ditulis pada tanggal 24 Februari 2011, situasi di Libya masih penuh dengan ketidakpastian, dan belum bisa diprediksi hasil akhir dari perlawanan melawan orang gila dari Tripoli itu.

Berbeda dengan bangsa-bangsa Afrika dan Asia, setelah era post-kolonial bangsa-bangsa Islam tidak sanggup mengatasi masalah-masalah mereka yang sangat beragam, sementara bagian dunia yang lain telah berhasil mengatasinya. Dilema yang dihadapi Islam hari ini, dengan sangat baik telah diuraikan oleh Bernard Lewis dalam ketiga bukunya, yang di sini secara singkat coba saya tinjau dan komentari.

Saya mulai dengan pernyataannya mengenai “identitas yang beragam di Timur Tengah.” Hal ini menjelaskan latar belakang yang sangat kita butuhkan untuk bisa memahami masyarakat dan politik di Timur Tengah. Salah satu dari tema utamanya membahas mengenai sebuah kompleksitas yang muncul dari fakta bahwa orang-orang Timur Tengah mengidentifikasikan diri mereka sendiri berdasarkan etnis dan agama. Namun demikian, elemen keagamaan menjadi hal yang dominan.

Dalam kekaisaran Islam yang sangat luas, para penakluk mengklasifikasikan orang berdasarkan afiliasi keagamaan mereka. Apakah seseorang adalah Muslim atau pengikut dari agama yang terdahulu. Orang-orang Muslim menikmati semua hak-hak dan keistimewaan yang diberikan pada mereka oleh Hukum Syariah Islam. Sementara kelompok lain seperti Yahudi, Kristen dan penganut Zoroastrian, diberikan status sebagai dhimmis, yaitu “orang-orang yang dilindungi.” “Perlindungan” ini sesungguhnya adalah sebuah euphemisme (ungkapan yang diperhalus), sebab kata ini sebenarnya berkaitan dengan banyak pembatasan-pembatasan yang dikenakan pada non-Muslim. Sebab itu, identitas seseorang terutama tidak dilihat berdasarkan faktor etnis atau geografi, tetapi berdasarkan iman keagamaan seseorang. Klasifikasi ini terus berlangsung hingga saat ini. Identitas utama seorang Timur Tengah terletak pada iman keagamaannya; yang kedua dilihat berdasarkan negara dimana ia hidup.

Sebagai contoh, saat masih muda saya tinggal di Timur Tengah. Kartu Tanda Penduduk saya (KTP) mengidentifikasikan saya sebagai seorang Kristen Protestan warga negara Lebanon. Dari ke-99 orang anggota Parlemen Lebanon (sebelum pergolakan yang terjadi tahun 1975), kami hanya memiliki seorang wakil Protestan di majelis itu! Presiden republik haruslah orang Maronit, misalnya dari iman Roma Katolik, perdana menteri dari seorang Sunni Muslim, dan juru bicara parlemen dari kelompok Muslim Syiah. Biasanya, menteri luar negeri diberikan pada seorang Kristen dari Gereja Ortodoks! Mengidentifikasikan orang dengan cara seperti ini menciptakan sebuah krisis serius ketika muncul ketegangan di antara kelompok-kelompok keagamaan yang berbeda. Sering terjadi, meskipun orang-orang Muslim tinggal di sebuah negara yang jauh seperti Lebanon, mereka merasa bahwa identitas utama mereka (dan juga loyalitas mereka) ada di tempat lain, yaitu di dalam ‘Islamik Umma’. Ikatan seperti itu secara praktis meniadakan modus vivendi, yang sudah eksis di Lebanon sejak tahun 1920, dan di kemudian hari menimbulkan pergolakan yang terus terjadi dari tahun 1975 hingga awal 1990an, di sebuah negara yang biasanya dikenal sebagai Switzerland-nya Timur Tengah.

Bernard Lewis lebih dari hanya sekedar seorang sejarawan. Metodenya dalam mengajarkan sejarah Islam membedakan dirinya dengan pendekatan penafsirannya. Selebihnya dari artikel tinjauan saya terutama berisi kutipan dari tulisannya baru-baru ini, yang saya harap bisa memberikan penerangan mengenai apa sedang terjadi, yang kelihatannya sebagai sebuah situasi yang sangat membingungkan di Dunia Arab.

Saya mulai dengan kutipan berikut tentang “Identitas Beragam dari Timur Tengah”:

Selama periode konfrontasi yang panjang dan berlangsung selama berabad-abad antara negara-negara Eropa dengan Kekaisaran Ottoman, orang-orang Eropa selalu melihat dan mendiskusikan relasi mereka dalam terminologi orang-orang Austria, Perancis, Jerman, Inggris, dan bangsa-bangsa lainnya melawan Orang-Orang Turki; sementara orang-orang Turki memandangnya dalam terminologi Orang Muslim melawan Orang Kristen. Dalam tulisan-tulisan Muslim pra-modern, sub divisi Kristen yang berkaitan dengan gereja dianggap sebagai kurang penting. Dalam sudut pandang Muslim, yang secara natural juga mereka gambarkan pada orang lain, agama adalah faktor yang sangat menentukan bagi identitas, fokus loyalitas dan, tak kurang penting sebagai sumber otoritas. (halaman 22)

Dalam kalimat-kalimat ini, kita bisa melihat bahwa faktor keagamaan merupakan hal yang paling penting dalam relasi dengan Timur Tengah, atau setiap bangsa dalam dunia Islam yang sangat luas, yang mengelilinginya. Para penulis Barat sekular cenderung mengabaikan betapa pentingnya agama dalam Islam, yaitu sebagai hal yang mengatur loyalitas tertinggi bagi seorang Muslim. Mereka cenderung melupakan bahwa, kontras dengan Kekristenan, Islam adalah sebuah campuran antara agama, politik dan budaya, dalam sebuah entitas yang tidak bisa dibagi. Jika tesis ini benar, dan saya percaya bahwa sejarah sejak 1400 tahun lalu telah mendukungnya, maka kita harus bertanya: mengapa ada banyak penulis dan para politisi yang terus menerus mengabaikan fakta-fakta fundamental mengenai Islam?

Sejarah Pakistan memberikan pada kita sebuah contoh, mengapa orang-orang Muslim meyakini bahwa mereka harus hidup dalam sebuah lingkungan yang secara resmi dan legal bersifat Islamik. Sebelum berakhirnya pemerintahan Inggris, perwakilan Muslim India-lah yang bersuara paling keras, meminta Raja untuk membagi subkontinen itu menjadi Muslim dan Hindu; dan dengan demikian lahirlah negara Islam Pakistan. Peristiwa itu menandai berakhirnya kehadiran kolonial Eropa di Asia dan Afrika, dimana orang-orang Muslim tidak pernah suka jika mereka harus hidup dibawah pemerintahan non-Muslim. Karena mereka terutama mengidentifikasikan diri sebagai orang-orang Muslim, loyalitas utama mereka akan tertuju pada Islamik Umma. Orang-orang Muslim akan merasa berada di rumah sendiri hanya ketika mereka ada dalam Daru’l Islam.

Kembali ke Bernard Lewis.

Dalam dunia modern, peran politik Islam, baik secara internasional maupun domestik, secara signifikan berbeda dari kawan sekaligus rivalnya yaitu Kekristenan. Para pemimpin negara atau para menteri luar negeri negara-negara Skandinavia dan Jerman tidak melakukan pertemuan secara berkala dalam sebuah konperensi tingkat tinggi Lutheran. Juga bukan merupakan kebiasaan ketika Uni Sovyet masih eksis, dimana para pemimpinnya bergabung dengan Yunani dan Yugoslavia, dan secara temporer melupakan perbedaan politik dan ideologi mereka – dengan mengadakan pertemuan reguler berdasarkan kesetiaan mereka kepada Gereja Ortodoks. Hal yang sama terjadi pada bangsa-bangsa Budhis dari Timur dan Asia Tenggara, bangsa-bangsa Katolik dari Eropa selatan dan Amerika Selatan, yang mana mereka tidak mendirikan blok Budhis atau Katolik di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), atau melakukan aktifitas-aktifitas politik lainnya berdasarkan agama.

Ide utama dari pengelompokan seperti itu, yaitu yang didasarkan pada identitas religius, akan dipandang oleh para pengamat negara-negara Barat modern sebagai hal yang tidak masuk akal bahkan dianggap sebagai komik. Tetapi dalam relasi dengan Islam, hal ini bukanlah hal yang tak masuk akal juga bukan sebuah komik. Sekitar 55 pemerintahan Muslim, termasuk monarki dan republik, konservatif dan revolusioner, para praktisi kapitalisme dan para murid dari berbagai macam sosialisme, para sahabat dan musuh-musuh Amerika Serikat, dan para eksponen dari keseluruhan spektrum yang dianggap netral, telah membangun sebuah perlengkapan konsultasi internasional yang terperinci dan bahkan, pada sejumlah isu, mereka bekerja bersama. Mereka mengadakan konperensi-konperensi tinggal tinggi secara reguler dan, kendati terdapat perbedaan berdasarkan struktur, ideologi dan kebijakan, mereka telah mencapai perjanjian-perjanjian yang terukur serta aksi bersama yang signifikan. (hal. 26)

Dalam tulisan Bernard Lewis lainnya, “Bahasa Politik Islam,” ia membahas masalah-masalah yang secara terus-menerus melanda negara-negara Islam dan menyebabkan mereka menjadi sakit di tengah-tengah dunia modern kita:

Di separuh kedua abad dua puluh telah membawa banyak kekecewaan dan pencaharian jiwa. Jimat dari Negeri Barat yang misterius tak lagi mendatangkan keajaiban; obat ajaib yang ditawarkan oleh pedagang keliling dari luar negeri tidak mendatangkan kesembuhan bagi negeri-negeri Islam dan masyarakatnya. Pemerintah-pemerintah konstitusional, kontras dengan apa yang diharapkan, belum berhasil memberikan pada masyarakat Muslim: kesehatan, kekayaan, dan kekuatan. Kemerdekaan hanya menyelesaikan sedikit masalah tetapi menyebabkan masalah lain yang lebih banyak, sementara kebebasan – sekarang makna kebebasan adalah individu melawan saudara sebangsa dan seagama – tampaknya semakin jauh dari makna sebelumnya. Banyak pengobatan yang diimpor sudah dicoba – dari timur dan juga dari Eropa barat, dari Selatan dan juga dari Amerika Utara. Tak satu pun dari obat-obat itu yang bekerja dengan baik, dan sekarang semakin banyak saja orang Muslim yang mulai melihat ke masa lalu mereka, atau apa yang mereka kira sebagai masa lalu mereka, untuk menemukan sebuah diagnosis atas sakit yang mereka derita pada masa kini, dan sebuah resep untuk kesejahteraan mereka di masa yang akan datang. Revolusi di Iran telah memperlihatkan sebuah jalan. Ada pria dan wanita di setiap negara Muslim hari ini yang coba mengikuti jalan yang dilakukan oleh orang-orang Iran, atau untuk menemukan sebuah alternatif yang lebih baik, yaitu agar bisa kembali pada Islam yang benar, asli dan otentik seperti yang diajarkan oleh Rasul Allah dan sahabat-sahabatnya. Bahasa politik Islam mendapatkan sebuah signifikansi yang relevan dan baru. 

Bahasa politik Islam pun mendapatkan sebuah isi yang baru. Masa lampau yang direvisi atau direkonstruksikan tak pernah sama dengan masa lalu sebagaimana dulunya ia ada, dan revolusi yang dilakukan oleh Ayatollah Khomeini berhutang lebih banyak pada dunia luar, lebih dari sekedar senjata, sambungan telepon langsung, dan kaset-kaset, sebagai hal-hal yang penting baginya untuk merebut kekuasaan. Di antara lingkaran para fundamentalis di Iran, Mesir dan di tempat-tempat lainnya, bahasa politik Islam yang baru tengah muncul, yang mana bahasa politik baru ini berhutang pada westernisasi dan sekularisasi yang terjadi pada abad yang lalu, juga dari sumber-sumber luar negeri, disamping pada Islam profetis dan Islam klasik. Kebanyakan akan bergantung pada kemampuan mereka untuk mengharmoniskan tradisi-tradisi yang berbeda ini. (hal. 115, 116)

Buku ketiga Professor Lewis yang membahas mengenai pergolakan yang terjadi secara terus-menerus di dunia Islam, ditulis sebelum terjadinya serangan terhadap gedung World Trade Center dan Washington pada tanggal 11 September 2011. Tetapi buku itu sendiri diterbitkan pada tahun 2002, berjudul “Apa yang Salah? Pengaruh Barat dan Respon Timur Tengah.” (“What Went Wrong? Western Impact and Middle Eastern Response.”)

Daripada mengutip sebagian besar dari karyanya yang bernilai itu, saya akan mengakhiri tinjauan ini dengan membahas beberapa baris yang terdapat dalam Introduksi dan Kesimpulan buku tersebut. Kalimat-kalimat ini memberikan kita pemahaman yang sangat dalam untuk mengerti mengenai penyakit yang terus-menerus melanda dunia Islam secara umum, dan terutama negara-negara yang ada di antara Marokko yang terletak di Atlantik dan Iran yang terletak di Teluk.

Apa yang salah? Untuk waktu lama masyarakat di dunia Islam, khususnya meskipun tidak eksklusif – yang ada di Timur Tengah, kepada mereka telah diajukan pertanyaan ini. Isi dan formulasi pertanyaan, terutama diprovokasi oleh perjumpaan mereka dengan Barat, dimana saat mereka memperbandingkan apa yang terjadi di negara mereka dengan kenyataan yang ada di negara-negara Barat, maka mereka merasa bahwa ada yang salah dengan masyarakat mereka. Tetapi, apapun bentuk dan bagaimana pertanyaan tersebut diajukan, serta jawaban yang dihasilkan, tidak salah jika kita berkesimpulan bahwa berkembangnya penderitaan, menyebabkan masyarakat menjadi semakin marah terhadap pertanyaan serta jawaban yang diekspresikan. (hal 3)

Dalam pasal terakhir, “Kesimpulan,” Mr. Lewis memberikan resep untuk menyembuhkan penyakit yang sudah berlangsung lama dalam dunia Islam. Ia memohon agar para intelektual Islam memimpin dunia mereka dengan mengajukan pertanyaan,”Siapa yang telah melakukan hal ini pada kami?” Bukan hanya “membawa masyarakat pada fantasi-fantasi neurotis dan teori-teori konspirasi” sebaliknya mulai bertanya “Apa yang salah yang sudah kami lakukan?” Hal ini akan membawa mereka pada “pertanyaan kedua yang bersifat natural: ”Bagaimana kita bisa membenahinya? Melalui pertanyaan itu, dan melalui jawaban-jawaban yang beragam yang muncul, akan ditemukan pengharapan terbaik bagi masa depan.” (hal 159)

[Pertama Kali Dipublikasikan pada tanggal 25 February 2011]

Judul Dalam Bahasa Inggris: Towards Undertanding The Turmoil In Islamic Lands

 

 

Catatan kaki

1 The Multiple Identities of the Middle East, by Bernard Lewis. Random House, NY, 1998

2 The Political Language of Islam, by Bernard Lewis. The University of Chicago Press, Chicago and London, 1988

3 What Went Wrong? Western Impact and Middle Eastern Response, by Bernard Lewis. Oxford University Press, New York, NY 2002


© Answering Islam, 1999 - 2011. All rights reserved.